Gendhis berdiri di depan pintu kamar rawat inap Bumi, hatinya berdebar kencang. Suara detik jam terasa menggema di lorong rumah sakit yang sepi. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu perlahan. Begitu pintu terbuka, tatapan mereka bertemu. Bumi, sedang duduk, dengan selang infus di tangannya seolah ia memang sudah menunggu gadisnya itu datang. Ia menatap Gendhis dengan mata yang mulai berair. Rasa rindu, marah, dan rasa bersalah bercampur jadi satu, mengisi ruangan yang mendadak terasa begitu sempit.
Gendhis melangkah maju, tubuhnya terasa berat, seolah beban yang selama ini ia pikul semakin berat ketika melihat Bumi dalam keadaan seperti itu. Langkah kakinya tak terdengar, namun isak tangis pelan mulai merayap di udara.
Bumi mengangkat tangannya,, namun sebelum ia berhasil mengangkat tangan sepenuhnya, air matanya jatuh lebih dulu. “Gendhis…” ucapnya dengan suara serak.
Gendhis tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia sedikit berlari ke samping ranjang, menggenggam tangan Bumi dengan erat, seakan takut kehilangan lagi. Mereka berdua menangis tanpa kata, tak perlu ucapan apapun. Semua rasa yang tak pernah terungkap selama ini mengalir bersama air mata yang jatuh. Suara mesin rumah sakit yang monoton menjadi latar belakang kesedihan mereka.
Dalam keheningan itu, Gendhis hanya bisa berbisik pelan, “Maaf, maaf mas, maafin Gendhis.” Namun, Bumi hanya menggenggam tangannya lebih erat, memberikan jawaban tanpa kata, bahwa mereka masih di sini, bersama, meski terluka.
Bumi mengulurkan tangannya dengan lemah, jari-jarinya gemetar ketika menyentuh wajah Gendhis yang sudah basah oleh air mata. Perlahan, ia menyapu pipi Gendhis dengan punggung tangannya, menghapus air mata yang terus mengalir, namun ia sendiri tak mampu menahan isak yang tertahan di dadanya.
Mata mereka bertemu dalam diam, namun keheningan itu penuh dengan rindu yang begitu mendalam. Bumi menatap Gendhis seakan ingin mengabadikan setiap detik bersamanya, merasakan kehangatan yang lama hilang. Rasa rindu itu mengalir deras di hatinya, tak bisa lagi terbendung.
"M-mas.."
"Da-dalem sayang."
"Ndis kangen, kangen sekali sama mas Bumi."
"Saya juga, Gendhis, saya rindu sekali." Katanya lirih.
Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Bumi menarik wajah Gendhis mendekat. Perlahan, tanpa kata, ia memajukan wajahnya dan mencium lembut gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Ciuman itu penuh kerinduan yang terpendam, seakan waktu berhenti sejenak, membiarkan mereka tenggelam dalam momen itu.
Bagi Bumi, ciuman itu adalah pelampiasan dari rindu yang tak terkatakan. Bagi Gendhis, itu adalah kelegaan, melepaskan semua sakit dan ketakutan yang selama ini menghantui. Mereka akhirnya bersama, meski dunia di sekitar mereka terasa rapuh. Di balik kesedihan, ada harapan baru yang menyala di dalam hati mereka.
Bumi dan Gendhis melepaskan ciuman itu, mereka saling menempelkan kening.
"Jika kamu tak datang, atau tak lagi datang, saya rasa saya akan mati."
YOU ARE READING
Bumi
RomanceBumi sang murid kesayangan Mbah Kliwon, yang selalu menemani sedari kecil. Tidak ada yang pernah melihat Bumi bersama dengan Mbah Kliwon, hanya dalam keadaan darurat saja ia akan mendampingi sang guru. Bumi bukan laki-laki yang mengurusi perihal as...