Gendhis masuk ke kamar tamu, ia pergi mandi, mengganti baju, mengambil wudhu dan menggunakan mukenanya, lalu menggelar sajadahnya. Ia mulai shalat, setelahnya ia terdiam, ia memandang dengan tatapan kosong, tanpa terasa air matanya mengalir, ia membungkam tangisannya dengan bersujud ke sajadah.
"Ya Allah, ya Allah, ya Allah." Hanya itu kata yang bisa ia ucapkan.
Demi Tuhan, jika ia merasa sakit, inilah hal yang paling menyakitkan. Tangisannya tersedu-sedu. Hatinya terluka.
Ia tiba-tiba menyadari, selama ini Bumi sering menghabiskan waktu dengannya, karena pria itu sudah sakit, dan ia mau merekam banyak memori mereka berdua. Kenapa ia terlambat menyadari ketika tubuh Bumi terlihat kurus? Kenapa ia percaya perihal oksigen yang ada di mobil kalau itu untuk ruang obat? Kenapa Gendhisss!!!! Kamu bodoh!!! Kekasihmu sekarat!!
"Ya Allah, apa ini memang jalan hamba? Apa hamba harus melepaskannya? Hamba tidak sanggup, hamba sangat mencintai mas Bumi, tidak bisakah Kau merubah suratan takdirMu? Tegakah Kau memisahkan kami yang saling mencintai, dan memiliki cinta tulus?"
Tak ada jawaban. Hanya kamar yang hening.
Tok...tok....tok....
Ketukan di pintu mengagetkan dirinya. Gendhis menghapus air matanya, lalu beranjak dan membuka pintu.
"Nona, ditunggu untuk makan malam." Kata Haryo yang ternyata ada depan kamarnya.
"Iya mas Haryo, aku ganti baju dulu."
Haryo mengangguk, Gendhis menutup pintu lalu mengganti pakaian, setelah itu ia menuju ke ruang makan. Disana semua orang sudah menunggu, termasuk Bumi. Pria itu tersenyum, ia menarik sebuah kursi di sebelahnya, Gendhis mengerti dan duduk di sebelah Bumi. Raden Ayu Damara tersenyum getir memandang mereka berdua.
Gendhis mendampingi Bumi makan, gadis itu makan dengan pelan, menyesuaikan dengan Bumi yang tidak bisa mengunyah cepat. Tak jarang ketika makanan itu jatuh, Gendhis mengambil serbet dan membersihkan bibir pria itu.
"Sudah kenyang." Kata Bumi
"Sedikit lagi, mas?"
Bumi menggeleng.
"Mau buah? Ndis kupaskan." Kata Gendhis
Bumi mengangguk. Gendhis mengambil jeruk, lalu mengupaskannya untuk Bumi, lalu menyerahkannya kupasannya pada Bumi satu per satu. Semua orang melihat itu dengan tatapan kagum sekaligus pilu, karena gadis itu begitu telaten memperlakukan Bumi. Sekalipun gadis itu masih kecil, tapi ia benar-benar tahu bagaimana untuk bersikap menjadi seorang pasangan.
Setelah makan, Bumi mengajak Gendhis duduk di taman sebentar untuk melihat langit malam. Gendhis ingin menolak karena ia takut pria itu masuk angin, namun pria itu memaksa. Jadilah mereka disini. Bumi di kursi roda, Gendhis di kursi batu yang ada di taman. Mereka bergandengan tangan.
YOU ARE READING
Bumi
RomanceBumi sang murid kesayangan Mbah Kliwon, yang selalu menemani sedari kecil. Tidak ada yang pernah melihat Bumi bersama dengan Mbah Kliwon, hanya dalam keadaan darurat saja ia akan mendampingi sang guru. Bumi bukan laki-laki yang mengurusi perihal as...