Bagian 5

2.5K 175 12
                                    





















Malam itu setelah pertemuan uniknya dengan pria paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu ia pergi ke sebuah Kafe di mana seorang teman sekaligus adik tingkatnya di kampus bekerja paruh waktu, itu adalah hari ke tiganya bekerja di sana namun sang teman mengatakan jika ia sudah mengenal sejak lama pemilik kafe, bahkan temannya itu terbilang sangat dekat karena si pemilik merupakan salah seorang donatur panti asuhan di mana dirinya tinggal dulu.

Kavi dengan membawa tas dan tabung gambarnya yang kosong memilih duduk di meja sudut dekat dengan jendela, ia membuka ipad miliknya dan melihat-lihat beberapa tugas kuliah, juga projek yang akan dirinya kerjakan dan sudah memiliki deadlinenya tersendiri. Namun sebelumnya ia sudah memesan segelas latte, sayangnya ia belum melihat sosok kawannya.

Suasana kafe terbilang lumayan ramai, desain tempat itu bertema putih dan abu-abu di beberapa sisi, beberapa tanaman hidup juga menghiasi tempat itu, ada lantai dua di sana namun kali itu Kavi memilih tempat di lantai satu karena tak terlalu ramai.

"Bang!"

Kavi menoleh saat seseorang menyapa, benar saja itu temannya, Jidan, pria tinggi itu terlihat mengenakan apron dengan nama Kafe tersebut Joy Cafe.

"Eh Ji," Kavi menaruh ipadnya.

"Udah lama lo di sini?" Tanya Aji kemudian.

"Kagak, gue baru sampe, tadi abis ketemu klien dulu. Lo sibuk ya, rame juga ni kafe."

"Gue cuma kerja enam jam sehari, lo tunggu bentar, gue setengah jam lagi kelar shift."

"Oke," Jawab Kavi kemudian Jidan yang sepertinya di tugaskan menjadi waiter itu kembali bekerja sedangkan Kavi menyibukan diri dengan tugasnya sembari menunggu Jidan.
















Setengah jam tak terasa berlalu, Jidan kembali dengan pakaian santainya menghampiri Kavi, pria itu beberapa kali menggosok matanya yang kering karena terlalu lama menatap ipad. Bahkan ia memesan minuman sebanyak dua kali di sana.

"Beres?" Tanya Kavi saat sosok Jidan menarik kursi dan duduk di hadapannya.

"Beres, lo gimana, katanya mau cerita tadi?" Tanya Jidan seperti apa yang di katakan Kavi via chat sebelumnya.

"Tadi abis ketemu klien aneh si, bisa di bilang aneh apa unik gue gak tau, yang jelad dia keliatan kangen banget sama gue padahal baru pertama kali ketemu."

"Lha, kok bisa?"

"Katanya sih, gue mirip anaknya yang udah meninggal."

"Oh, pantesan, emang muka lo mirip seseorang sih, Bang, gue juga punya kenalan, eh bukan kenalan sih, itu suaminya Buna gue."

"Buna yang donatur sekaligus yang punya ni kafe?"

Jidan mengangguk, "iyah, lo mirip suaminya."

"Kok, lo baru bilang?" Tanya Kavi heran mengapa ia baru tahu fakta tersebut.

"Ya, gak penting gak sih, Bang."

Kavi setuju tapi rasanya ia menjadi heran mengapa banyak sekali orang yang mirip dengannya.

"Muka gue pasaran banget, ya, Ji, hari ini gue ketemu dua orang yang bilang gue mirip anggota keluarganya, sekarang lo juga."

Jidan mengernyitkan dahi, "emang siapa lagi yang bilang lo mirip anggota keluarganya selain klien lo itu?"

"Ada, gak penting si. Ngomong-ngomong, lo gimana bisa kerja di sini? Bukannya lo bilang Buna lo itu protektif?"

Jidan mengangguk, "ini hasil pemaksaan gue bilang gue gabut aja di rumah. Lo tau, kan, gue tinggal di rumah yang di sewain Buna gue deket kampus, plus ada Bibi yang bolak-balik ke sana buat urus kebutuhan gue. Gabut lah liburan semester gue masa berduaan sama bibi."

Kavi tertawa membayangkan ucapan sang kawan, "terus kenapa lo gak stay aja di rumah Buna lo? Kan enak ketemu tiap hari."

"Gak enak, gue yang gak mau, soalnya Buna gue tinggal sama keluarga besar suaminya."

"Ohh, gue jadi pengen ketemu sama suami Buna lo yang mirip gue itu."

"Gak bisa Bang," Ujar Jidan sembari meneguk sebotol air mineral miliknya.

Sementara Kavi mengernyit bingung, "kenapa emangnya?"

"Beliau udah meninggal."



















Tbc ...










Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jidan Saputra

After We Meet | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang