Bagian 7

1.3K 117 1
                                    





















"Gimana menurut lo, mirip, kan?"

Tyana mengangguk, ia bahkan tak dapat menyembunyikan tangisannya. Bohong jika Tyana telah mengikhlaskan seratus persen kematian putranya, di tambah lagi ia melihat sosok bak pinang di belah dua dengan mendiang putranya.

Tyana mengangguk, Tama menggenggam tangan sahabatnya itu erat, "gue gak tega liat dia panas-panasan begitu, gue harus tolong dia gimanapun caranya."

"Tapi lo harus inget, ya, Tyan, dia bukan anak lo," Sahut Johan. Dirinyalah yang membuat Tyana bertemu dengan sosok mirip Joshua itu, ia tak ingin Tyana menjadi kembali terpuruk seperti di awal kepergian Joshua dulu.

"Gue tau, Jo, gue paham, gue cuma kasian liat dia. Lagipula dengan ngeliat dia gue ngerasa kangen gue sedikit terbayar."

"Terus lo ada rencana apa buat bantu dia?" Tanya Tama yang sedari tadi menyimak.

"Dia gak kuliah, kan?" Tanya Tyana, Johan mengangguk, ia sempat bertanya saat dirinya dan Tama di lukis tempo hari.

"Gue udah tanya, dia gak punya orangtua makanya dia gak bisa kuliah. Padahal dia pengen banget punya gelar formal," Jawab Johan lugas.

"Gue mau dia kuliah, syaratnya tolong bikin gue bisa liat dia kapanpun gue mau."

Tama dan Johan melihat ke arah satu sama lain, Tama mengangguk sementara Johan menghela napasnya, mau bagaimana lagi Tyana tak akan menyerah saat tahu kenyataan ada seseorang yang dapat mengobati rasa rindunya pada sang putra.

Maka dari itu Tyana berjanji untuk mendanai segala biaya kuliah Kavi melalui Johan dan ketiganya membuat janji rahasia untuk tak membeberkan prihal Kavi pada siapapun termasuk pads Jaren, Marko maupun Helga, apalagi Noa yang sudah pasti akan membawa dampak bagi mentalnya.





















Noa datang ke kafenya pada pukul sembilan pagi, hari itu adalah jadwalnya menjaga kasir karena ada seorang pegawainya yang mengambil cuti untuk menjaga sang ibu yang di rawat di rumah sakit. Noa sudah biasa menggantikan pekerjaan pegawainya hitung-hitung menumpas rasa bosan yang terkadang menghampiri.

Pagi itu Kafe terhitung ramai dan Noa cukup senang karena kafenya itu di gemari banyak pelanggan, ia tersenyum pada banyak pelanggan, melayani dengan ramah.

"Selamat pagi--"

Setidaknya hingga sosok pria berdiri di hadapannya dengan sebuah ransel tersampir di bahu kanan, kacamata hitam juga rambut sedikit ikal miliknya.

Noa tertegun, sementara sang pria tampan menatapnya dengan wajah yang ramah, "eh, Kakak yang kemarin, yah? Kerja di sini?"

Sial, ia mengenali Noa bagaimana bisa Noa mengelak saat itu, jantungnya terasa berhenti hanya karena sapaan biasa, "y-ya, mau pesen apa, Mas?" Tanyanya dengan mata bergulir ke arah layar mencoba mengalihkan atensinya agar tak terus menerus melihat pria itu.

"Machiato satu, ya, Kak, sama roti coklatnya dua," Ujarnya dengan senyum.

Tidak, Noa tidak sanggup jika berlama-lama menghadapi pria itu, ia buru-buru memanggil pegawai lain dengan berdalih membuatkan pesanan. Padahal tujuannya adalah untuk lari, ia tak bisa terus menerus bergelut dengan pikirannya.




Sementara Kavi tak merasa hal aneh terjadi, ia dengan santai duduk di kursi menunggu pesanan di antar, membuka laptop untuk mengurusi tugas kuliahnya. Sementara diam-diam Noa menatapi pria itu, sembari memantrai dirinya sendiri jika itu bukanlah sosok suaminya.

"Bukan, sadar Noa dia stranger, dia cuma mirip suami kamu," Ujarnya pada diri sendiri. Namun matanya tak bisa bohong, ia terus menatap lekat sosok Kavi. Hingga matanya yang bulat itu semakin lebar, saat melihat darah meluncur dari hidung bangir pria itu. Kavi mimisan.



















Tbc ...

Up dua kali krn kmrn2 aku gak up hueheh

After We Meet | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang