Kavi meraih kedua bahu Noa, melihat pria manis itu seakan ingin menangis tentu saja Kavi khawatir, "Kak, tunggu di sini, Kakak gak usah bilang apapun ke Jidan, aku bakal jelasin ke dia, okay?"
"Okay ... " Noa mengangguk.
Kavi segera pergi menghampiri Jidan yang ternyata berada di halaman belakang kafe, remaja itu berdiri berkacak pinggang dengan rambut terlihat berantakan. Kavi segera menghampirinya, Jidan terlihat tak bergeming saat menyadari ada sosok lain di sana.
"Ji, gue bakal jelasin tapi gue minta tolong lo dengerin--"
"Jelasin apa? Lo pikir gue gak tau kalian abis ngapain? Gue liat leher Buna merah-merah, ya, Bang, kok lo bisa begini padahal lo tau sendiri keadaan Buna gimana!"
"Okay Ji, gue salah, gue gak seharusnya berbuat begitu, tapi tolong jangan marah sama Buna lo, gue gak mau Kak Noa makin ngerasa bersalah. Ini semua salah gue, kalo aja gue bisa nahan diri semua ini gak akan kejadian."
"Bang," Jidan membalikan tubuhnya hingga ia dan Kavi kini berhadapan, "gue marah bukan cuma karena ini gak baik buat Buna, tapi buat lo juga. Gue tau lo sadar kalo Buna gak pernah anggap lo sebagai Kavi, dia liat suaminya di diri lo dan pasti ini semua bakal nyakitin lo juga pada akhirnya."
Kavi tak bisa membantah, ia tahu kenyataannya apa yang Jidan ucapkan seratus persen benar. Kavi hanya memberi makan egonya dengan tetap berusaha meyakinkan diri jika semalam Noa hanya terbawa suasana.
"Lo gak akan pernah jadi diri lo sendiri di mata Buna, okay? Jadi stop, Bang. Gue sayang kalian berdua, gue tau gimana susahnya lo bertahan hidup, gue juga tau strugglenya Buna selama ini. Jadi berhenti, aja. Gue gak mau kalian berdua terluka."
Jidan benar, setelah apa yang Jidan katakan Kavi menjadi banyak berpikir tentang kenyataan yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Noa. Kavi tak memungkiri jika dirinya jatuh hati pada Noa, namun apakah Noa memiliki rasa yang sama untuknya, atau ia hanyalah bayang-bayang dari mendiang suami Noa. Kavi rasa opsi kedua lah yang benar. Bagaimana bisa Noa melupakan suaminya jika wajah mereka saja sangat mirip.
Kavi menyelesaikan pekerjaannya hari itu dengan cukup di liputi banyak pemikiran entah mengapa ia tak bisa abaikan begitu saja apa yang Jidan ucapkan, semua terasa benar dan ia berada di titik di mana harus menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Maka di sanalah kini Kavi berada, di ruangan Noa saat kafe hendak tutup ia meminta waktu bicara dengan Noa.
"Hai," Kavi menyapa saat membuka pintu ruangan Noa, pria manis itu seharian berada di kafe karena tak berani kembali ke rumah dengan banyaknya tanda yang ia miliki di lehernya. Untungnya Noa memiliki seribu alasan kepada Joey dan anak itu percaya saat Noa mengatakan ia tengah menghabiskan waktu bersama ayahnya.
"Hai ... " Noa tersenyum, namun matanya tak dapat berbohong jika ia baru saja selesai menangis.
Kavi duduk di sofa, sementara Noa duduk di kursi depan meja kerjanya, "makasih udah jelasin ke Jidan," Ujar Noa sembari tersenyum tipis.
"I'm sorry Kak."
Noa melihat heran ke arah Kavi, "kenapa? Kenapa kamu minta maaf?"
"Soal tadi malem, kita gak seharusnya lakuin itu."
"Kavi ... " Noa rasanya bak di tampar oleh rasa bersalah semakin menjadi, sepertinya Kavi merasa terluka atas apa yang dirinya lakukan.
"Aku bersikap kurang ajar, harusnya itu gak boleh terjadi, maafin aku, Kak--"
"Kenapa kamu bilang gitu, Kavi ... Kamu juga tau itu semua terjadi atas consent kita berdua."
"Tapi tetap aja harusnya kita gak perlu sejauh itu. Karena itu nyakitin kita berdua."
"Kavi ...."
"Aku pikir, kita gak seharusnya sedeket ini, i'm so sorry Kak. Aku bakalan berusaha terus ketemu Joey, maafin aku yang udah lewatin batas."
Tbc ...
Tim Kavi/Tim Noa?

KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet | Nomin
Fanfictioncerita ini merupakan sequel dari ceritaku sebelumnya DAYS WITH YOU jadi biar ngerti silahkan baca book pertama dulu yah. bxb nomin mpreg by : sassyna