Bab 67

4.9K 657 117
                                    

Rendra hanya bisa menunduk. Saat ini semuanya sudah benar-benar berakhir. Kalimat permintaan maaf yang tadi dia susun sudah hilang bersamaan dengan harapannya yang tidak kesampaian. Anna sudah memiliki penggantinya, wanita itu akan menikah dengan pria lain.

"Jika tidak ada lagi yang ingin dikatakan, silahkan pergi dari sini"usir Hasti tegas.

Rendra memberanikan diri mengangkat wajahnya lalu menatap Anna dan pria di sampingnya.

Damian yang melihat itu segera menutupi Anna dengan tubuhnya.

"Kenapa?"tanya Anna bingung.

"Tidak ada."sahut Damian datar membuat Anna mengernyit. Aneh sekali. Kenapa wajah Damian terlihat marah.

"Anna."panggil Rendra pelan.

"Jangan sok akrab. Kalian sudah bercerai."tegur Harun.

"Benar. Apalagi Anna sudah dapat pengganti yang lebih tampan."sahut Hasti.

"Lebih kaya."tambah Harun.

"Dan lebih gede."ucap Anna membuat Damian, Hasti dan Harun melotot kaget.

Sedang Rendra hanya menggeleng lemah."Mas ingin kita bicara, hanya sebentar."pinta Rendra memelas.

"Tidak boleh."ucap Harun cepat.

"Kenapa? Apa mantan kekasihmu itu tidak sedih lagi setelah kehilangan anak? Apa kau tidak mau menghiburnya lagi?"tanya Hasti kesal.

Rendra menggeleng."Mah__"

"Heh! Siapa yang kau panggil mah. Tidak sudi aku punya menantu sepertimu. Bajingan, bodoh, lemah, tidak setia, semuanya saja kau borong."teriak Hasti.

"Laura berbohong, mah. Ia tidak keguguran tapi sengaja aborsi dan sekarang rahimnya sudah diangkat karena infeksi."ucap Rendra membuat Anna bereaksi.

"Memang karma tidak akan salah orang. Situ kapan?"tanya Anna sinis.

"Sayang.. "panggil Rendra lemah.

"Cuihhh. Tidak sudi aku dipanggil sayang oleh mulut kotormu itu."ucap Anna lalu mengajak Damian pergi dari ruang tamu.

"Ke mana?"tanya Damian.

Anna menggeleng lalu menyentuh otot lengan Damian."Keras banget. Bisa kali bikin tali ayunan di sini."canda Anna lalu menarik lengan pria itu pergi.

"Eh mau ke mana?"cegah Harun saat Rendra beranjak ingin mengejar Anna.

"Pah, mah, tolong ijinkan aku bicara dengan Anna. Hanya sebentar, setelah itu aku akan pergi."pinta Rendra memelas. Jika setelah meminta maaf dan dia masih ditolak maka Rendra akan terima. Namun jika harus pergi tanpa usaha, dia tidak mau.

Hasti menghela napas kasar."Hanya dengan melihat wajahmu saja sudah bisa membuatku sangat marah. Apalagi jika ingat semua yang kau lakukan pada putri kami. Kau ingin bicara dengan Anna sekarang, lalu kenapa tidak lakukan dulu saat kalian punya banyak waktu. Mantanmu menangis kau langsung berlari dan menghiburnya. Tapi Anna? Bagaimana perlakuanmu pada putri kami? Bahkan disaat Anna hancur setelah kehilangan anak kalian, kau masih tetap berada di kamar wanita itu. Dengan mata kepalaku sendiri, aku lihat kau memeluk wanita itu. Apa pada saat itu kau peduli pada perasaan istrimu, perasaan kami? Tidak. Kau tidak peduli. Karena hanya mantanmu yang penting."

"Mah__tolong sekali saja, untuk yang terakhir. Ijinkan__"

Hasti segera menyatukan tangannya."Aku juga akan melakukan hal yang sama. Tolong sekali jauhi putriku. Jangan ganggu kebahagiaannya. Jika kau sangat menyesal dengan apa yang terjadi, maka hiduplah dalam penyesalan itu selamanya dan jangan pernah bahagia."ucap Hasti lalu menjauh.

Rendra menatap Harun dengan tatapan memohon.

"Pergilah dan jangan datang lagi. Tidak perlu meminta maaf karena tidak akan kami maafkan."ucap Harun. Dia sudah terlalu lelah. Tenaganya sudah habis beberapa bulan yang lalu dan sekarang dia sudah malas.

"Pah_"

"Pergi!"bentak Harun marah membuat Rendra akhirnya memilih mundur.

Di luar, dia memutuskan untuk mencari Anna dan ketemu. Tapi wanita itu tidak sendiri. Namun ini adalah kesempatan dan harus diambil karena itu Rendra memutuskan untuk mendekat. Nanti saat Anna sendiri baru dia coba ajak bicara. Untuk saat ini dia sembunyi saja dulu.

"Punya mas bangun ya?"

"Tidak."

"Iya. Itu nonjol dibalik celana."

"Memang begitu."

"Hah? Jadi itu masih ukuran belum bangun?"

"Iya."

"Kok bisa? Buka dikit lah, aku mau lihat."

"Tidak boleh."

"Ck! Boleh. Intip dikit! Ujungnya saja."

"Tidak."

"Ya ampun, mas pelit banget."

"Bukan pelit. Tapi mas lagi nahan diri supaya tidak apa-apain kamu."

"Tapi aku maunya malah diapa-apain."

"Ck! Jangan nakal."

"Aku nggak nakal kok."

"Tapi itu tangannya ke mana?"

"Hehe.. Cuma megang dikit. Masa nggak boleh."

"Tidak boleh, Anna Harun."

Rendra yang mendengar percakapan itu hanya bisa tertunduk lesu. Pembicaraan random khas Anna. Harusnya dia yang kini sedang bersama Anna bukan pria lain.

Kenapa rasanya sangat tidak adil, batin Rendra penuh penyesalan.

Bersambung

Bukan Salah Orang (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang