Eps 43

127 4 3
                                    

"Jika memang dia bukan milikku, lalu kenapa semesta mempertemukan kami? Hanya untuk menambah luka baru?"

********

Sepasang remaja itu berjalan bersama melewati stan-stan makanan di festival, Antarez tak bisa menahan senyum kala memandang perempuan bertubuh mungil itu. Pucuk rambutnya yang menari diterpa angin sore, serta ekspresi menggemaskan nya ketika melihat deretan makanan yang begitu menggugah selera.

"Ternyata benar ya, bidadari itu nyata," batin Antarez tersenyum simpul, ia tak kuasa mengangkat tangannya untuk mengelus lembut kepala Aqila. Sang empu pun mendongak menatap laki-laki tersebut.

Tatapan Aqila seolah bertanya, apa alasan telapak tangan itu mendarat di kepalanya. Momen singkat itu, seakan menciptakan ruang dimensi tersendiri, yang membuat mereka terkunci di dalamnya. "Sorry, tadi ada daun jatuh di kepala lo," balas Antarez dan kembali menurunkan tangannya.

"Um," respon Aqila mengangguk.

"Lo mau makan apalagi?" tanya Antarez membuat gadis itu harus berpikir keras, ada terlalu banyak makanan di sini. Tahu sendiri kan kalau cewek-cewek udah ada di tempat jajan? Semuanya pingin dicobain.

Tapi, sesuatu seketika membuat pikiran Aqila berubah. Raut wajahnya menjadi murung, lalu segera mengetikkan sesuatu pada layar handphonenya dan ditunjukkan kepada Antarez. "Nggak jadi makan deh, nanti kalau uang kamu habis gara-gara aku gimana? Aku nggak mau dikira matre sama kamu," ketik Aqila dan mendapat respon gelengan kepala dari Antarez.

"Cewek banyak jajan itu bukan matre, cewek itu memang matre, dan nggak ada yang salah dengan itu. Gue sebagai cowok tugasnya cari duit, buat jajanin cewek gue, kalau cewek gue nggak bisa habisin duit gue, buat apa gue kerja?" tutur Antarez lembut, membuat hati Aqila yang mendengarnya pun seperti mentega dalam oven.

"Jadi pilih makanan yang lo suka, gue ajak lo ke sini buat kenyang makan makanan, bukan angin," sambungnya dan dibalas helaan napas oleh Aqila, baiklah jika memang mau dia seperti itu.

"Eh, apa?" bingung Antarez ketika lengannya tiba-tiba saja dipegang oleh gadis tersebut, alis Aqila saling bertaut, menimbulkan tanda tanya tersendiri bagi Antarez yang melihatnya.

Lagi-lagi, layar handphone itu tertuju kepada dirinya. "Tadi kamu bilang cewek aku, emang cewek yang kamu maksud siapa?" membaca sederet kalimat itu, sontak terdengar dehaman tiga kali dari Antarez. Anak itu berdeham sambil membenarkan posisi jaketnya.

"Maksud gue, cewek gue nantinya," balas Antarez kepada Aqila, entah mengapa ketika mendengar kata 'nantinya' hati Aqila sedikit kecewa. Memang, dia tidak mempunyai hak untuk mengetahui perempuan mana yang Antarez sukai, bahkan soal tipe pun dia tidak memiliki kuasa untuk mengatur.

Tapi, mendapat perhatian seperti ini kira-kira perempuan mana yang tidak jatuh hati? Mungkin, mulai dari sekarang ia harus menjaga perasaannya agar tidak terlalu menaruh harapan kepada Antarez.

"Makan es campur aja yuk, mau nggak?" tawar Aqila mengalihkan topik pembicaraan, ia berjalan terlebih dahulu dan diikuti oleh Antarez dari belakang.

"Cewek yang gue maksud itu lo, Aqila," batin Antarez sembari memandang punggung perempuan itu.

********

Seperginya dari tempat tersebut, Elara bergegas menuju lokasi yang dikirimkan oleh Lava. Ia merasa penasaran, alasan penting apa yang membuat anak itu sampai meminta dirinya untuk datang ke sana.

Manik mata yang dingin, tersembunyi dibalik kaca helm full face tersebut, Elara semakin menambah kecepatan motornya. Nampaknya, masih ada kekesalan yang ia muntapkan ketika bertemu dengan Daksa beberapa waktu yang lalu.

Ditambah lagi, kondisi jalanan kota Byantara yang tak terlalu ramai, seolah memberikan karpet merah untuk melaju bebas. Dedaunan yang semula tidur di hamparan aspal, kini terbangun, disertai deruan suara knalpot motor disepanjang kendaraan itu melaju.

Tak butuh waktu lama, akhirnya Elara sudah sampai, dan memarkirkan sepeda motor sportnya itu di tempat yang telah disediakan.

"Ngapain si Lava suruh gue dateng ke sini, ini pasti akal-akalan dia doang nih, biar gue main," gumam Elara setelah masuk ke dalam festival, ada begitu banyak orang yang berlalu lalang serta puluhan stan makanan.

Pikirannya yang semula suntuk, kini perlahan berubah menjadi senang. Mod ceria Elara yang pada awalnya hanya tersisa sepuluh persen saja, kini perlahan naik menjadi tiga puluh persen. Ditambah alunan musik di acara festival, membuat kepingan rusak di kepalanya itu mulai terhempas. Sekarang, dia ingin menikmati waktu sendirinya.

Elara mendatangi satu-persatu stan makanan yang ada di sana, untung saja ia datang dalam kondisi perut lapar. Jadi, porsi sebanyak apapun bisa muat tanpa halangan. Dia mulai merasa bersyukur, sebab Lava meminta dirinya untuk datang kemari, meskipun ranah tujuannya masih belum jelas. Setidaknya sekarang ia merasa lebih baik.

"Nih si Lava kemana sih, ngajakin gue datang ke sini tapi nggak nongol-nongol," sebal Elara sembari berusaha menghubungi Lava, dengan tangan kanannya memegang kantong plastik berisi cimol.

Sebab, pandangan Elara yang hanya terfokus pada layar handphonenya itu, membuat dia tidak sengaja bersenggolan dengan seseorang, dan membuat cimol miliknya jatuh beberapa ke tanah. "Eh, soryy! Gue nggak sengaja," ujar Elara merasa tidak enak, dia terlalu fokus pada handphonenya sehingga lupa dengan kondisi sekitar.

Lawan bicaranya itu hanya diam sambil mengangguk, lalu menunjukkan gerakan tangan yang sama sekali Elara tidak tahu apa artinya. "Iya, aku juga minta maaf ya," balas Aqila menggunakan bahasa isyarat.

Elara tidak tahu lagi harus memberikan tanggapan seperti apa, selain tersenyum dan melambaikan kedua tangannya setinggi bahu. "Nggak apa-apa kok, gue yang salah, gue harusnya hati-hati." Meskipun tidak mengerti, setidaknya Elara bisa menebak apa maksud dari gadis tersebut.

"Kayaknya dia nggak bisa bicara," batin Elara menyadari sesuatu dari dirinya, pandangan yang semula hanya tertuju pada wajah, kini turun ke bawah dan kembali lagi ke atas. Hanya satu kata yang mampu Elara berikan, untuk mendeskripsikan kesan pertama dari perempuan itu, 'lembut'.

Namun, terdengar seruan dari arah belakang, yang sontak membuat keduanya terkejut terutama Elara. "Aqila! Ngapain disitu terus? Katanya mau makan es campur." Bola mata Elara membulat sempurna, ia sangat mengenali siapa pemilik suara itu, bahkan, mereka sudah mulai sedikit dekat akhir-akhir ini.

Aqila yang mendengar panggilan itu pun bergegas berlari ke arah sumber suara, tubuh Elara ikut berputar sedikit untuk melihat darimana suara itu berasal, sekaligus melegakan rasa hausnya. Bukannya puas, pemandangan tersebut malah semakin merobek dalam perasaan Elara.

Gadis itu melihat, Antarez tersenyum tulus sembari membelai lembut kepada perempuan tersebut, lalu berjalan bersama menjauh menuju salah satu stan. Goresan lengkung itu, belaian kasih itu, Elara tak pernah menemui Antarez yang seperti itu sebelumnya. Sebab, Antarez yang ia kenal hanyalah pribadi kasar dan juga dingin.

"Jadi, dia cewek yang waktu itu lo peluk di tengah hujan," monolog Elara mengingat peristiwa dulu, dimana Antarez tengah memeluk Aqila di tengah hujan deras. Memori itu kembali mengelupas, hanya bedanya ini berdarah.

"Kalau memang dari awal lo sudah memiliki bunga mawar, lalu kenapa lo bersikap seolah-olah gue adalah bunga mawar yang lo cari, Rez?" tunduk Elara menatap nanar, dengan kepalan tangan yang semakin menguat.

"Ternyata memang benar, semua cowok itu brengsek."

KINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang