"Jangan menuntut ku menjadi sempurna, Papa. Tapi cobalah dukung apa yang aku bisa, aku berjanji akan menghasilkan sesuatu yang indah."
-Antarez Putra Kasela-
********
"Lo tidur di kasur aja, gue tidur di sofa," ujar Antarez lalu melangkahkan kakinya menuju sebuah sofa merah panjang, merebahkan tubuh di atasnya seraya bersedekap dada.
"Loh, kok Abang yang tidur di sofa, harusnya Antariksa dong, kan kamar ini punya Abang," balas Antariksa tetap berdiri di tempatnya, sembari memandang Antarez yang mulai mengantuk.
"Lo mau tidur atau gue lempar ke luar jendela? Udah tidur aja, ribet banget," decak Antarez membuat kepingan mimpinya yang perlahan mulai terbentuk, seketika buyar.
"Huh iya deh," balas Antariksa mengosongkan parunya, membuang napas berat. Mereka belum sepenuhnya dekat, jadi tidak heran kalau perlakuan Antarez masih dingin kepada dirinya. Lagipula, cara waktu mendekatkan mereka juga dengan diselipi masalah. Seolah-olah konflik sudah melekat kuat pada keduanya.
Benda lembut dan sedikit berat mendarat tepat di atas muka Antarez, baru saja Antariksa melemparkan selimut tebal pada anak itu. "Noh dipakai selimutnya!" ucapnya tak menghiraukan tatapan bombastis side eye dari Kakaknya, hampir saja Antarez dibuat tak bisa bernapas.
Antariksa langsung cepat-cepat tidur dengan posisi membelakangi Antarez, ia takut jika terus ditatap dengan pandangan mengerikan seperti itu. Bisa-bisa ia mimpi buruk.
"Cari mati lo Sa, maafkan Adik mu yang durjana ini Bang," batin Antariksa mengeratkan pelukannya pada guling.
Malam semakin larut, jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Berulang kali Antariksa merubah posisi tidurnya, gelisah. Hampir sepuluh menit sudah ia mendengar suara mengganggu dari luar kamar.
"Ck! Suara apaan sih!" Antariksa yang tidak kuat, ia langsung memutuskan untuk bangun. Hal pertama yang ia sadari adalah Antarez tidak ada di sofa.
"Eh, Abang Antarez kemana?" dengan rasa penasaran, Antariksa mencoba mencari keberadaan Antarez di seluruh bagian kamar, akan tetapi hasilnya nihil bahkan dalam kamar mandi juga kosong. Ia tidak ada pilihan lain selain mencari keluar kamar, sekalian mencari tahu darimana asal suara berisik tersebut.
"Ini rumah rame bener ya, sampai jam segini pun ada aja aktivitasnya," monolog nya tak habis pikir.
Sesampainya di luar kamar, suara itu masih juga belum berhenti, nadanya mirip seperti pukulan dan cukup nyaring, mungkin karena seluruh ruangan tengah sunyi hingga membuat pantulan suara tersebut menggema ke setiap sudut rumah.
"Lagi renovasi rumah kali ya? Tapi, mana mungkin tukang mau kerja jam segini," sembari berjalan menuju anak tangga yang menghubungkan dengan lantai bawah, timbul begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab di dalam benak Antariksa.
"Sudah saya katakan! Jangan membantah, tapi apa buktinya!" tubuh Antariksa seketika mematung selepas mendengar suara teriakan tersebut, ia sangat mengenalnya bahkan pemilik suara itu pun tidak asing lagi bagi dirinya.
"Pa-Papa," tegun Antariksa reflek menyebut nama tersebut. Ia langsung mempercepat langkah kakinya, semua gambaran buruk tentang kondisi Antarez seketika memenuhi isi kepalanya. "Semoga tebakan gue salah."
Di sebuah ruangan dengan pintu coklat dalam kondisi tertutup, Antariksa yakin kalau suara itu berasal dari sini. Perlahan, tangan kanannya meraih gagang pintu tersebut, walau ada rasa ragu ia berusaha keras menepis semua ketakutan itu.
Perlahan pintu mulai terbuka, dari sela kecil Antariksa mendapat suguhan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dimana punggung kekar Antarez sudah terluka dengan beberapa goresan dan darah. Sedangkan di sisi sebuah tangan memegang cambuk, Antariksa sudah bisa menebak siapa orang itu.
"HENTIKAN!" bentak Antariksa langsung masuk ke dalam ruangan, membuat Tuan Agral bersama Antarez yang duduk lemas di atas lantai memandang bingung ke arah anak itu. Di saat Tuan Agral dikejutkan tentang bagaimana caranya Antariksa bisa sampai kemari, Antarez malah tersenyum smirk.
"Apa yang Papa lakukan! Jangan sakiti Bang Antarez Pa!" bela Antariksa lalu melihat Antarez tertatih-tatih, berusaha untuk berdiri.
"Sorry, sudah membuat tidur nyenyak lo terganggu," ujar Antarez tersenyum kecil, membuat Antariksa yang menatapnya merasa sakit. Dari sorot matanya, ia tahu kalau anak itu marah, hanya saja Antarez tidak memiliki kekuatan untuk melawan Tuan Agral.
"Sayangnya, pertunjukannya sudah selesai," pungkas Antarez seakan-akan menganggap ini adalah sebuah pertunjukan sirkus yang lucu. Ternyata selama sepuluh menit itu Antarez tengah disiksa dalam ruangan pribadi Tuan Agral, dia hukum atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Apa yang kau lakukan di rumah ini Antariksa?" tanya Tuan Agral mampu membuat bagu Antariksa sedikit gemetar, tatapan pria itu benar-benar mematikan.
"Saya-"
"Kenapa? Apa Papa juga mau memukuli Antariksa hanya karena ada di rumah ini? Apa menyiksa satu anak saja masih belum cukup?" potong Antarez tanpa menghadap Tuan Agral, pria itu mendengus kesal.
"Ternyata hukuman saya belum cukup membuat mulut mu diam ya, tenang saja untuk ke depannya saya akan berusaha lebih keras," ujar Tuan Agral lalu melenggang meninggalkan ruangan.
"Bang, punggung lo berdarah, gue bantu obati ya!" tawar Antariksa tidak tega melihat kondisi Kakaknya sekarang.
"Gak perlu, orang itu gak suka lihat tubuh gue sembuh. Biarkan saja seperti ini, gue sudah terbiasa," balas Antarez dan mengambil kaos putihnya yang tergeletak di atas lantai.
"Tidur gih! Nanti lo harus sekolah, tinggalin gue sendirian, gue butuh waktu," pinta Antarez dan membuat Antariksa tak punya pilihan lain selain meninggalkan anak itu seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KING
Teen Fiction[Sequel dari cerita brother konflik, pastikan baca brother konflik dulu supaya lebih paham alur ceritanya] Raja tanpa mahkota, mungkin itu adalah kata yang tepat bagi seorang Antarez Putra Kasela. Dia bukan dari kalangan bangsawan, hanya seorang rem...