Eps 35

428 24 13
                                    

Kilauan sinar matahari menembus kaca jendela kamar, mata anak itu memicing sembari menutupi wajahnya agar terlindungi dari cahaya menyilaukan itu.

"Sudah pagi," ujar Antariksa baru saja bangun, hari ini tidurnya tidak terlalu nyenyak dikarenakan hanya bisa beristirahat beberapa jam saja. Apalagi peristiwa tadi malam, dia sudah menyesal menuruti perkataan pria tak dikenal yang menyuruhnya meminum sebotol minuman keras.

Dia benar-benar bodoh, memang tidak bisa dipungkiri perasaan telah mengambil akal sehatnya. Dan dia berjanji tidak akan melakukan hal seperti itu lagi.

Lagi-lagi, sofa merah panjang itu kosong tak berpenghuni. Ia pikir Antarez sudah kembali, ia tidak dapat menemukan apapun selain secarik kertas berisikan pesan.

"Sa, gue punya baju seragam dua ambil aja dalam lemari, dari berita yang gue dapet hari ini sekolah lagi ada acara jadi gak bakal ada pelajaran. Jadi gak masalah kalau lo gak bawa tas, di depan udah ada sopir yang gue suruh buat nganterin lo," ujar Antariksa membaca isi surat tersebut.

"Sama satu lagi, di dalam laci ada barang punya lo. Harus lo simpan, coba belajar menghargai sesuatu," sesuai instruksi dari kertas yang Antarez tulis, ia pun berjalan menghampiri laci meja dan membukanya.

Ternyata, barang yang Antarez maksud adalah piagam penghargaan miliknya yang dulu sempat Antariksa buang. "Kok bisa piagam ini ada di Abang, bukannya udah gue buang ke sampah?" gumam Antariksa heran.

"Apa dia yang ngambil ya? Hm thanks Bang, gue janji bakal simpan piagam ini baik-baik," batinnya tersenyum manis.

Mempunyai saudara seperti Antarez adalah sebuah anugerah terbesar bagi Antariksa dalam hidupnya, namun kadangkala juga menjadi mimpi buruk bagi dirinya. Sejauh ini, Antariksa masih belum sepenuhnya mengerti tentang siapa diri Antarez yang sebenarnya.

Akan tetapi, walaupun seperti itu, ia akan terus berusaha untuk bisa mendapatkan perhatiannya kembali.

********

Kelas 11 MIPA 1.

"Wuuiiihhh tumben lo gak bawa tas Sa, udah belajar jadi anak nakal ya? Wah ini pasti ajarannya si Hans nih, lo apain anak orang sampai berubah jadi gak suci lagi Hans?" sambut Bams dengan kedatangan Antariksa yang baru saja memasuki kelas.

"Gue lagi sakit gigi ya Bams! Jangan bikin singa gue keluar!" sebal Hans memegangi pipi kirinya yang sedikit membengkak. Padahal tadi malam sudah dikasih obat tokcer buatan emak, tapi belum ampuh juga.

"Waduh singa apaan lo? Emang lo punya khodam pakai singa-singa an segala," terdengar tawaan renyah dari mulut Bams, seandainya gigi dia baik-baik saja, Hans pastikan anak bertubuh sedikit gempal itu tersiksa.

"Tas gue ketinggalan, lagipula sekarang sekolah lagi ada acara kan? Jadi gak bakal ada pelajaran," balas Antariksa menarik satu kursi dan duduk di atasnya.

"Omaygat! Sekarang anak polos kesayangan Mama udah berani remehin pelajaran, gue jadi curiga ini bukan Antariksa," kejut Bams tak percaya, sejak kapan anak itu bisa sesantai ini soal sekolah. Biasanya, dia yang paling heboh sendiri kalau soal ketinggalan buku catatan.

"Sabar ya Sa, sekarang Bams emang suka tantrum kalau pagi, obatnya habis belum beli," sahut Hans, kalau pawang nya saja sudah menyerah apalagi Antariksa. Dia tidak sanggup menghadapi sikap absurd Bams yang sering kumat tiba-tiba.

"Tenang aja Hans, gue paham," balas Antariksa mengangguk-anggukkan kepala.

"Weh gila, itu beneran si Ardi? Tapi kok botak?" heboh Bams sembari menunjuk ke arah pintu kelas, lebih tepatnya kepada seorang siswa berseragam putih abu-abu. Akibat ulahnya itu, seketika membuat perhatian satu kelas mengikuti kemana jarinya menunjuk.

"HAHAHAHAHAHAHAHA!!!" reflek suara tawa memenuhi seisi kelas.

"Rambut lo kemana Ar? Bisa botak begitu?"

"Udah gue bilang jangan suka nyemilin buku matematika, jadi rontok kan rambut lo!"

"MIRIP DEDY DISPENSER WOY!"

"Apaan sih lo semua, alay! Kayak gak pernah lihat orang botak aja," sebal Ardi lalu duduk di bangkunya, tak menghiraukan puluhan pasang mata yang terus saja mengikuti kemana ia pergi. Sontak, Hans dan kawan-kawan pun menghampiri anak tersebut.

"Ar, gimana ceritanya rambut cepmek lo bisa hilang? Kenapa gak dipotong mullet aja, ngapain harus botak?" tanya Bams seperti mengintrogasi pelaku kejahatan. 

"Kalian bisa diem gak sih? Gigi lo gue botakin mau?!" emosi Ardi menggebrak meja.

"Oh boleh, gigi si Hans aja, mumpung lagi sakit gigi dia, biar cepat sembuh. Mau kan bre? Ompong mah urusan nanti," balas Bams sembari menoleh ke arah Hans, mengatakannya tanpa kenal dosa.

"Lo lagi depresi ya Ar?" tanya Antariksa sukses membuat ketiga pasang bola mata mereka melotot.

"Setahu gue, kalau remaja lagi depresi terutama cewek suka potong rambut buat lepasin masalah."

"Owh, jadi masalah lo gede banget dong Ar sampai-sampai botakin rambut. Lo ada masalah apa emang? Sini cerita sama gue," sedih Bams menawarkan jasa curhatnya kepada Ardi.

"Haaahh," Ardi membuang napas panjang, memang susah kalau lawannya beginian. "Daripada lo semua salah paham, lebih baik gue cerita. Jadi gini, kemarin di rumah, gue iseng mau coba catokan rambut punya Kakak gue, nah karena gue baru pertama kali pakai alat itu, gue baca nih instruksi nya."

"Karena gue emang agak tolol kalau soal instruksi bahasa Inggris, yang seharusnya sebentar aja catok rambut nya gue kelamaan, suhunya juga tinggi karena gue pikir semakin tinggi semakin bagus hasilnya nanti. Eh malah rambut gue yang kebakaran," cerita Ardi. "Dan makin tolol nya lagi, gue baru nyadar waktu udah bau gosong."

"BWAHAHAHAHAHA," tawa Hans reflek ngakak kenceng, sepertinya gigi anak itu sudah sembuh selepas mendengar cerita konyol dari Ardi.

"Bodoh lo murni banget, yang namanya pakai alat apalagi masih baru ya tanya ke orang yang paham kali, jangan sok-sokan coba sendiri," sambungnya masih belum bisa berhenti tertawa, sekarang perutnya dibuat kaku.

"Terserah gue lah, kata Bapak gue walaupun gue botak gue tetep kelihatan ganteng," ujar Ardi percaya diri.

"Tapi dimata gue lo lebih mirip boyul sih," celetuk Bams.

"Boyul apa Bams?" tanya Antariksa penasaran.

"Botak tuyul, Hahaha!" tawa Bams dan menular kepada Hans.

"Enak aja botak tuyul, gue ini bogan ege! Botak ganteng, tadi pagi gue udah keramas biar rambut gue bisa tumbuh lagi," balas Ardi menggosok-gosok kepalanya yang licin itu.

"Lo botak ngapain pake keramas? Emang apa yang dicuci Ar?" bingung Hans.

"Cih, sebenarnya gue ini masih ada rambut, cuman lo gak bisa lihat aja. Khusus orang yang punya mata spesial yang bisa lihat rambut gue," ucap Ardi.

"Yang bener lo?" tanya Bams dan diangguki oleh anak itu. "Oke, kalau begitu tunggu di sini!" tiba-tiba Bams pergi begitu saja, tanpa menjelaskan kemana tujuannya.

Setelah menunggu beberapa menit, anak itu kembali ke dalam kelas bersama seseorang.

"Nih, kenalin nama dia Ojo, temen gue SD, dia ini anak indigo, real no hoax," ucap Bams memperkenalkan anak yang berdiri di sampingnya.

"Dibawa beneran dong, lo paham jokes gak sih BLOK!" batin Ardi reflek mengumpat.

"Coba bro, lo lihat kepala temen gue kira-kira ada rambutnya apa nggak, coba deskripsikan dalam satu kata," pinta Bams kepada Ojo.

Ojo menatap kepala Ardi yang begitu kinclong itu secara seksama. Matanya menyipit, terlihat menyakinkan.

"GOBLOK! Udah kelihatan jelas kepala gue tandus ngapain pakai diteliti segala!" marah Ardi sontak memukul meja dan berdiri. "Lo juga tolol Bams! Lo paham jokes apa nggak? Kelakuan lo aja demen bercanda tapi gak paham jokes bapak-bapak!" 

"Udah, gue keluar dari kelas ini, gak kuat gue satu kelas sama satwa," nyerah Ardi berjalan pergi keluar kelas dengan langkah kesal.

KINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang