Eps 44

86 3 0
                                    

"Semesta memang lucu, menitipkan sebuah bunga pada seseorang yang telah memiliki bulan."

********

Perhatian itu, tutur lembut itu, belaian itu, Elara lupa kalau hubungan mereka hanyalah kontrak di atas kertas. Mereka dijodohkan cuman karena kepentingan bisnis semata, sangat menyedihkan jika sampai menambah bumbu harapan di dalamnya. Ikatan mereka dari awal tidak melibatkan perasaan sama sekali, hanya sekedar singgah tanpa kepastian.

Namun, bodohnya lantai rumah itu sekarang kotor karena jejak kaki Antarez. Menyebalkannya lagi, Elara lah yang membiarkan laki-laki itu melakukannya. Tapi, sayangnya ini bukan soal 'rumah'.

"Harusnya, gue pakai logika gue, bukan benda sampah ini," lirih Elara kecewa sembari meremas dadanya, membuat kaos putih yang dikenakannya menjadi kusut akibat cengkraman tersebut. "Hati gue sudah pernah hancur, mati-matian gue sembuhin luka ini sendiri. Dan sekarang ....," senyuman itu terukir, bersamaan dengan lelehan air mata di pipi Elara.

"Dan sekarang kembali hancur, tapi kenapa .... kenapa yang ini lebih sakit? Gue nggak mungkin sudah jatuh cinta sama dia kan?"

"Fuck Ra fuck! Hati lo lemah banget bangsat, kenapa lo semudah itu naruh rasa ke orang!" batin Elara menjerit, cengkraman itu semakin mengerat dan menjerat dadanya. Hati Elara sesak, ia tidak tahu lagi apa yang harus dirinya lakukan, selain menunduk untuk menyembunyikan tangisnya di tengah keramaian.

Dosa apa yang telah dia lakukan? Kesalahan apa yang sudah dirinya perbuat, kenapa semuanya selalu berakhir sama. Elara tak pernah berhenti menanyakan sederet kalimat itu pada dirinya sendiri. Apakah seburuk itu dirinya, sampai tidak pantas mendapatkan laki-laki yang bisa mencintai dia seutuhnya?

Melihat orang lain bisa bercerita, berbagi isi dunia, dijadikan prioritas oleh seseorang. Elara juga ingin merasakan hal yang sama pula, ibaratnya bunga mawar, seindah apapun dia akan tetap dibuang setelah aromanya memudar. Ya, Elara berpikir nasibnya tak jauh berbeda dari tumbuhan berkelopak merah itu.

Dengan langkah lemas, Elara berjalan setapak demi setapak berencana menuju pintu keluar festival. Pandangannya hanya memandang kerikil kecil di tanah tanpa semangat, energi yang semula penuh kini terkuras habis tak tersisa. Bahkan, Elara tak mampu mengingat kebahagiaan kecil apa saja yang sudah ia lakukan sebelumnya, karena sekarang yang tertanam di pikirannya hanyalah, kekecewaan.

"Elara," panggil Lava, berdiri di hadapan perempuan tersebut. Elara yang cuman bisa melihat sepasang sepatu merah muda dengan pita putih, perlahan mengangkat kepalanya, menatap datar sosok gadis menggemaskan di hadapannya sekarang.

"Muka lo kenapa? Kusut bener, oh ya nih gue punya permen lolipop dua, buat lo satu," ujar Lava mempertanyakan ekspresi Elara yang aneh. Lalu, menyodorkan benda manis berbentuk lingkaran warna-warni itu kepada temannya.

/Pak/

Tanpa peringatan, Elara langsung menempak permen lolipop tersebut sampai jatuh ke tanah. Lava menggeram kesal, bisa-bisanya permen lolipop yang dia beli sampai rela ngantri dua jam dibuang begitu saja. Ngeselin banget nggak sih?!

Lava menatap secara bergantian permen lolipop yang sudah terbelah dengan muka Elara, wajah yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. "Maksud lo apa Elaraaaa, gue antri buat beli itu lolipop dua jam! Kalau emang nggak mau ya bilang aja, jangan dibuang!" sebal Lava, ingin sekali dia menangis. Tapi, takut dikira cengeng sama orang-orang.

"Jadi itu yang lo mau tunjukin ke gue," dingin Elara membuat perasaan Lava berubah, sorot mata kosong namun menyimpan luka itu, membuat Lava langsung mengerti apa yang sahabatnya maksud.

"Lo sudah lihat semuanya?" balas Lava perlahan mendekati Elara, tangan lembutnya yang mendarat di pipi, membuat ia tak mampu lagi menahan bendungan air mata itu. "Sorry, gue nggak bermaksud nyakitin hati lo, gue cuman mau memastikan apa itu benar atau nggak," sambungnya simpati.

"Nggak perlu ada yang dijelasin, itu sudah cukup buat gue," ucap Elara kembali dengan tatapan tajamnya. Ini memang sakit, dan Elara sudah berteman dengan rasa sakit ini, ia tidak punya  hak untuk bisa menyetir perasaan orang lain. Cinta hanya membuat dia semakin bodoh, membuang air mata untuk seseorang yang tidak perduli kepada dirinya, adalah hal terburuk yang pernah ia lakukan semasa hidup.

Kantong celana Lava bergetar, ia segera mengambil benda pipih tersebut dari dalam sana. Panggilan telepon dari seseorang, jari jempolnya bergerak untuk menggeser tombol hijau tersebut, dan menerima panggilan itu.

Terdengar suara seorang perempuan, alis Lava mengerut selepas mendengar informasi yang dibawanya. "What? Tawuran sama geng sebelah? Yang bener aja lo, emang geng kita punya salah apa sama geng mereka?" ujar Lava dalam telepon, Elara yang ikut menyimak disampingnya pun juga ikut terkejut.

"Lo tanya ke gue terima apa kagak? Tolak-"

"Gue terima tantangan mereka," sela Elara langsung merebut handphone Lava dari tangannya, "dengan senang hati geng OWL GIRLS bakal ratain mereka, mulai sekarang geng manapun yang berani nantangin kita, kita terima dengan tangan terbuka," tambahnya lalu menutup panggilan tersebut.

Lava kembali merebut handphone nya kesal, apa-apaan dia? Main terima tawuran begitu saja tanpa mengetahui apa dasar penyebabnya. Bukankah lebih baik menolak, daripada mengorbankan anggota untuk pertempuran tidak jelas?

"Maksud lo apa sih Ra, lo sadar lo tadi ngomong apa?!" marah Lava dan malah dibalas tatapan acuh oleh Elara.

"Kenapa? Mereka berani tantang geng kita, itu artinya sama aja mereka meragukan kemampuan geng kita. Geng OWL GIRLS mulai sekarang nggak akan selembut sebelumnya," balas Elara menekan kalimat terakhir.

"Daripada menolak dan merasa bodo amat, apa lo lupa ini soal harga diri huh? Gue nggak mau geng OWL GIRLS dianggap geng cupu cuman karena tolak tantangan mereka, dengan senang gue bakal hancurin mereka. Kalau lo nggak mau ikut, biar gue sendirian yang ratain geng itu pakai tangan gue sendiri," tegas Elara mampu membuat Lava tercengang.

Sisi egois yang sudah lama tak pernah ia lihat, kini terpampang jelas di hadapannya. Sosok Elara yang biasa bersikap tegas, dingin memang sudah biasa bagi dirinya. Namun ini? Ini bukan tentang kedua hal itu, perasaan lapar akan kepuasan, hingga rasa haus akan validasi. Hanya itu yang mampu manik mata Lava saksikan dari seorang Elara Queen Maharani, sekarang.

"Sekarang kita pulang, bilang ke mereka, gue tunggu tawuran jam sebelas malam, kalau sampai telat, konsekuensi separuh anggota gabung geng OWL GIRLS," pungkasnya dan berjalan mendahului Lava.

KINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang