Eps 22

562 36 18
                                    

"Bunga dari seseorang untuk dia yang gemar menggores luka."

-Antarez Putra Kasela-

*******

Antarez membalutkan perban mengelilingi pergelangan tangan Elara yang terluka, sesekali Elara mendesis, merasakan sensasi rasa perih bercampur gatal. Mulut Elara hampir berteriak, namun dengan cepat ia menahannya.

"Kalau mau teriak, teriak aja jangan ditahan," sindir Antarez hampir selesai melakukan pekerjaannya.

"Eng-enggak, siapa yang mau teriak," balas Elara terbata-bata. Tinggal sentuhan terakhir akhirnya Antarez selesai mengobati luka Elara, sesaat mata gadis itu dibuat gagal fokus ketika melihat pergelangan tangan kiri Antarez. Ada bekas luka sayatan yang telah mengering di sana.

"Rez, tangan lo," ucap Elara menelan saliva, "tangan kiri lo kenapa?" tanyanya, membuat Antarez ikut melirik pada bagian yang Elara maksud.

"Enggak kenapa-kenapa," balasnya dingin.

"Mmm," deham Elara canggung, rasanya sungguh gatal ingin sekali Elara menanyakan darimana asal luka tersebut. "Lo pernah coba bunuh diri juga?" tanya Elara sangat hati-hati.

Antarez tersenyum sinis, "bunuh diri gak mempan buat gua," balasnya diselingi tawa pelan.

"Sudah berkali-kali gua coba bunuh diri, tapi belum mati-mati juga," batin Antarez dengan ekspresi datar.

Tatapan mata Elara menjadi sendu, tawa sinis yang baru saja ia dengar dari seorang laki-laki bertubuh tinggi itu, seperti mengandung sebuah arti yang sangat mendalam, bahkan sangking dalamnya Elara tahu itu sangat menyakitkan.

"Owh, mmm kabar Papa lo gimana Rez? Dia sehat-sehat aja kan?" tanya Elara merubah topik pembicaraan.

"Hm," deham Antarez sebagai bentuk jawaban 'ya' atas pertanyaan Elara. "Apa boleh gua minta sesuatu ke lo?" sambungnya meminta.

"Apa?" balas Elara.

"Tolong jangan pernah bahas atau sebut nama orang itu lagi di depan gua, gua malas kalau bahas soal keluarga, paham?" pinta Antarez dengan nada kebencian.

"Ta-tapi kenapa?" ujar Elara mencoba memberanikan diri.

"Kenapa?" ulang Antarez sambil mengambil posisi berdiri. "Bagi gua keluarga itu hanya omong kosong, lo tidak akan pernah bisa paham dengan apa yang gua maksud, sebab rumah lo masih utuh," sambung Antarez, mendapati bingkai foto keluarga lengkap Elara yang terpajang di dinding kamarnya.

"Gua pulang dulu, titip salam buat Mama lo," pungkas Antarez lalu berjalan keluar melewati pintu.

"Keluarga itu... hanya omong kosong?" pikir Elara selepas kepergian Antarez dari dalam sana.

°•••[KING]•••°

Dalam perjalanan pulang, menaiki sepeda motor ninja berwarna hitam. Kendaraan itu melaju membelah keramaian kota, kecepatan yang semula tinggi perlahan mulai menurun menjadi lebih pelan.

Atensi Antarez tertarik pada seorang anak kecil yang menangis merengek di tepi jalan raya, bersama seorang pria paruh baya yang terlihat mencoba untuk menenangkannya. Akhirnya, Antarez memutuskan untuk melipirkan kendaraannya itu, di dekat kedua orang tersebut.

"Adiknya kenapa Pak?" tanya Antarez menghampiri mereka.

"Ini Nak, anak saya nangis karena tidak saya belikan mainan, mahal saya gak punya uang," balas pria itu, Ayah dari anak kecil tersebut.

"Owh," balas Antarez mengangguk.

"Huwaaa hiks, Oza gak mau pulang Oza gak mau pulang! Huwaaa Oza mau beli mainan!" rengeknya semakin keras.

"Aduh, Oza kita pulang dulu yah nak, Ayah janji, kalau kita pulang Ayah belikan kamu mainan," bujuk sang Ayah malah membuat tangisan anak kecil itu semakin kencang.

"HUWAAAAA ENGGAK OZA GAK MAU, AYAH BOHONG!!!"

"Eh Oza, shhhtt gak boleh berisik yah, ini masih diluar, Oza gak malu dilihat orang banyak? Lagian mainan Oza kan sudah banyak, kemarin sudah Ayah belikan lato-lato lima masa masih kurang," ucap sang Ayah lembut.

Melihat kesabaran si Ayah, membuat Antarez merasa tak tega, ia juga mulai mencoba untuk menenangkan anak kecil tersebut.

"Hai Oza," sapa Antarez berjongkok di hadapannya.

"Kakak siapa?" tanya Oza sesegukan.

"Kenalkan, nama Kakak Antarez, Oza kenapa nangis terus? Memang Oza gak capek?" balas Antarez seraya menghapus air mata di pipi mungil Oza.

"Enggak," geleng Oza menjawab. "Oza bakal nangis terus biar dikasih mainan sama Ayah," sambung Oza polos.

Bibir Antarez tersenyum, jawaban dari anak kecil itu begitu lucu. "Tapi Oza gak kasihan sama Ayah? Lihat, Ayah Oza sudah capek karena Oza nangis terus daritadi. Jangan sedih lagi yah!"

"Tapi mainannya?" balas Oza cemberut.

"Kalau Ayah Oza sudah punya uang, pasti bakal dikasih, kamu harus sabar. Nanti, kalau Oza sudah gede, bakal bisa beli semua mainan yang Oza mau, oke?"

"Oh yah ini, Kakak punya sedikit hadiah buat Oza, diterima yah buat beli mainan," sambung Antarez mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dalam saku celananya, dan diberikan kepada Oza.

"Eh eh nak, gak usah, jangan, buat kamu aja, disimpan aja yah nak!" sahut sang Ayah merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa kok Pak, saya ikhlas."

"Alhamdulillah, terima kasih banyak yah nak, Oza ayo bilang apa sama Kakaknya?"

"Makasih Kak Antarez," ujar Oza tersenyum lebar.

"Iyah sama-sama, jangan sedih lagi yah!"

"He em," angguk Oza sangat lucu. "Oza juga punya hadiah buat Kakak," anak kecil itu ikut mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. setangkai bunga Aster yang begitu cantik.

"Hehe, bunga itu Oza dapat dari hasil petik di kebun bunga kota diam-diam, Kak Antarez bisa berikan bunga itu untuk Ayah Kakak," sambungnya menyodorkan setangkai bunga Aster itu pada Antarez.

"Kak Antarez kenapa?" tanya Oza sebab Antarez belum juga menerima bunga pemberiannya. "Kak Antarez masih punya Ayah kan?"

"I-iyah," angguk Antarez.

"Kak Antarez sayang kan sama Ayah?" perasaan Antarez dibuat terkejut, bola matanya melebar. Ia ragu harus menjawab apa, setiap mendengar tentang Papanya, pikiran Antarez selalu terseret pada peristiwa kelam.

"Sa-sayang," balasnya begitu berat, hati Antarez sakit. Tidak, ini bohong, kata yang barusan dia katakan sangatlah berlawanan dari apa yang ia rasakan. Dan dengan perasaan terpaksa, Antarez menerima pemberian bunga itu agar tidak mengecewakan Oza.

"Terima kasih."

°•••[KING]•••°

KINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang