***The Thoughts
***
Jam makan siang baru saja tiba, namun suasana gedung tinggi itu telah memanas sejak pagi tadi.
Gadis berkuncir itu menarik nafas panjang, menatap pintu cokelat besar di depannya. Ia meremas beberapa dokumen di tangannya seraya berdoa di dalam hati.
Permintaannya sederhana. Ia hanya berharap bisa keluar dari ruangan itu dalam keadaan utuh.
Pasalnya sejak pagi tadi, orang-orang yang memasuki ruang keramat itu akan keluar dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Seolah sebagian jiwa mereka telah hilang entah kemana.
Sejeong menggeleng keras, mengusir segala pikiran absurdnya.
Ayolah! Dia sudah bekerja di sini selama beberapa tahun. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan kemarahan Jennie bukan?
Lagipula apa yang harus Sejeong takutkan bila ia hanya ingin meminta tandatangan dari teman sekaligus atasannya itu? Ini pekerjaan sehari-harinya.
Menarik nafas pelan sekali lagi, Sejeong akhirnya mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali dan masuk setelah mendengar suara samar dari dalam sana.
"Sajangnim, ada beberapa dokumen yang memerlukan tandatangan anda."
Sejeong ingin menepuk bahunya sendiri dengan bangga karena berhasil bersikap senormal ini.
"Hmm. Taruh saja di sana. Aku akan memeriksanya sebentar."
"Nde, sajangnim." Ia meletakkan beberapa map itu di hadapan Jennie, sesuai dengan instruksi gadis itu.
Namun gerakannya terhenti saat merasakan tatapan tajam menusuk dengan hawa dingin dari sampingnya.
Perlahan Sejeong menoleh dan matanya bertatapan langsung dengan mata kucing--- tidak, tidak, mata macan betina itu.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya, selagi terus berusaha memikirkan apakah ia baru saja melakukan sebuah kesalahan.
"Apa kau baru bekerja padaku?"
"Eoh? A-aniyo sajangnim, aku---"
"Lalu kenapa kau meletakkannya di sini? Apa kau tidak bisa memahami ucapanku?" Tajam Jennie.
Sejeong masih tidak mengerti. Ia benar-benar meletakkan dokumen-dokumen itu di sisi meja yang langsung berada di depannya.
Apa Jennie memintanya untuk meletakkan dokumen itu di atas lantai dan bukannya di atas meja?
Tapi rasanya itu tidak mungkin.
Decakan penuh rasa kesal dan jengkel itu mengalihkan perhatian Sejeong.
"Aku memintamu untuk menaruhnya di sana." Jennie menekankan dua kata terakhirnya sambil menunjuk sisi meja yang cukup jauh dari mereka dengan dagunya.
Detik itu, Sejeong benar-benar harus menahan diri untuk tidak berteriak di wajah gadis Park itu.
Apa Jennie pikir dirinya adalah seorang cenayang?!
Mengabaikan konsekuensi yang akan ia terima nantinya, Sejeong mengambil tumpukan dokumen itu dengan kasar dan meletakkannya dengan tidak kalah kasar hingga menimbulkan bunyi bedebam yang cukup keras.
Brak!
Untung baginya, meja kebesaran seorang Park Jennie itu terbuat dari kayu dan hanya bergetar saat Sejeong melakukan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral [On Going]
Fiksi Penggemar*** Semuanya terlalu sempurna Terlalu sempurna hingga aku tidak menyadari bahwa kesempurnaan hanya sebuah ilusi sementara yang akan berakhir di satu titik. Aku hanya terlalu naif untuk mempercayai segalanya akan bertahan selamanya *** Start: 03 Febr...