Scarlett : 31

111 12 4
                                    

╭───────── ༺ ⚘ ༻ ─────────╮

Dagu Scarlett bertumpu di salah satu telapak tangannya. Ia duduk nyaman di depan meja makan dengan kakinya yang menyilang. Kedua sorot matanya fokus menontoni punggung atletis sempurna milik Bram yang kini tengah disibukkan oleh peralatan masak di depan sana.

Meskipun Scarlett tak ingin, tapi kedua mata miliknya itu seperti memiliki keinginannya sendiri. Bahkan, ia sendiri tidak tahu sudah semerah apa pipinya saat ini.

Scarlett memalingkan pandangannya seraya mendengus kesal. Sudah berapa lama ia menatapi Bram yang tengah memasak sesuatu di sana? Tanda tanya besar memenuhi seisi kepalanya. Apa sekagum itu dirinya pada punggung milik Bram? Ia sungguh tidak bisa mempercayainya!

“Nah, makanlah.”

Sebuah piring dengan masakan lezat berprotein lengkap di atasnya, sudah Bram hidangkan ke hadapan pandang mata Scarlett. Semuanya nampak begitu sempurna.. Tak ada satupun hal yang bisa dikritik darinya. Sudah seperti hidangan rekomendasi dari menu restoran bintang lima.

Scarlett dibuat terbelalak.. Namun, tidak sampai terkejut. Ia tahu, bahwa makanan yang Bram santap memang tak sembarangan. Terlebih lagi karena tubuhnya yang atletis seperti itu, Scarlett tahu jika Bram membutuhkan banyak protein di dalam makanannya.

“Baiklah. sepertinya, aku harus mencoba semua menu di restoran bintang limamu itu.” seru Scarlett seraya meraih garpu dan pisau yang sudah disediakan sejak tadi.

“Apa itu pujian?” kekeh Bram, dengan senyuman tipisnya seperti biasa. Ia pun sudah nampak berduduk nyaman di atas kursinya sendiri.

Scarlett tertegun, bak disengat sesuatu.. Sesaat setelah ia mencicipi masakan yang dibuat Bram. Rasanya sungguh tidak main-main. Sempurna, seperti tampilannya.

Sial! Bisa-bisanya pria berdarah dingin itu bisa memasak sesempurna ini dibanding dirinya yang seorang wanita?? Jatuh sudah harga diri Scarlett pada detik ini juga!

“Kau mengejekku ya?!” ketus Scarlett menggerutu. “Sial! ini jauh di luar ekspektasiku tahu! kau ini, benar-benar!!”

Bram terkekeh kecil.

“Muntahkan saja jika harga dirimu itu tertampar.”

“Tidak bisa. masakannya terlalu sayang untukku lempar. kau saja yang pergi dari hadapanku! kau menyebalkan!!” sahut Scarlett. Ia merasa teramat kesal, meskipun begitu ia tetap melanjutkan santapan miliknya.

“Aku tak butuh pujian.” timpal Bram.

“Siapa yang bilang aku memujimu?!” geram Scarlett.

Bram semakin terkekeh merasa gemas. Ia seperti punya kesenangan tersendiri jika membuat Scarlett mengomel layaknya kucing terancam seperti itu.

“Aku yakin masakanmu ini tak lebih enak dari masakan ibumu! restoran Redarose  itu, pasti milik ibumu kan??”

“Ibuku bahkan tak tahu aku masih hidup.” kekeh Bram.

Scarlett terbungkam seketika.

Bagaikan petir di tengah siang hari yang amat cerah. Ia tertegun mematung, setelah mendengar apa yang baru saja Bram lontarkan dengan senyuman tipis di bibirnya.

Apa maksud dari perkataannya itu?

Melihat dari ekspresi Bram yang sangat datar seperti itu, seakan mengartikan bahwa apa yang dikatakannya tadi bukanlah hal yang perlu jelas diperbincangkan. Pria itu, seolah menganggap ucapannya hanya sekedar hembus angin yang lewat berlalu lalang.

“Aku tak mengerti apa maksudmu.” ucap Scarlett.

Bram menelan makanan di dalam mulutnya. “Aku hidup sendiri. semua perusahaan yang berdiri itu, atas namaku sendiri. tak ada hubungannya dengan keluargaku.”

Red Wine Cigarette LighterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang