#6 Bertemu Presiden

504 31 0
                                    

Ternyata aku dan He Ra dibawa ke sebuah rumah di tengah hutan.

"Apa ini masih di Seoul?" Tanyaku pada Se Woo.

"Ya, Nona Muda."

He Ra dibawa oleh ambulans karena kondisinya yang cukup penuh luka. Polisi telah menyuruhku untuk ke rumah sakit, tapi aku tidak mau.

"Siapa yang memanggil polisi ke sini?"

"Saya. Saya tidak menemukan Anda di rumah. Saya pikir Anda diculik dan ternyata dugaan saya benar. Saya menemukan Anda karena perjanjian di antara kita yang ditulis di punggung anda."

"Lalu kenapa Rain bisa di sini?"

Se Woo terdiam cukup lama, "Saya yang menyuruhnya untuk kemari."

"Untuk apa kau membawa Rain ke sini?" Tanyaku sambil menatap Se Woo.

"Itu karena dia punya urusan dengan pria yang menjadi tersangka kasus kali ini."

Aku terdiam.

"Sebaiknya kita segera pulang karena besok Presiden Lee akan meminta Nona Muda untuk menghadap ke istana biru."

Aku mengangguk lemah dan entah kenapa tiba-tiba tubuhku juga terasa lemah.

"Nona muda?!" Se Woo hendak menangkapku yang limbung.

PLAK!
Aku menampar lengan Se Woo yang hendak menangkapku.

"Aku baik-baik saja." Ucapku, "Aku cuma... sedikit capek."

***

Hari minggu pagi, aku telah sampai di istana biru untuk melaporkan kejadian kemarin dengan detail pada Presiden Lee dan memberitahu jika kasus ini adalah perdagangan organ tubuh manusia secara ilegal.

"Kau baik-baik saja?"
Itu yang ditanyakan Presiden Lee setelah aku melaporkan detail kasus itu.

"Tentu."

"Kenapa kau bisa yakin bahwa pelaku akan ada di sana?"

"Dari saputangan kuning yang ditinggalkan korban."

Presiden Lee terdiam dan ia melanjutkan, "Ada apa dengan saputangan itu?"

"Saputangan itu berbau kunyit."

"Memangnya kenapa jika saputangan itu berbau kunyit?"

"Noda kunyit jika diberi suatu basa akan meninggalkan noda berwarna merah."

Presiden Lee melanjutkan, "Lalu? Ada pesan pada saputangan itu?"

"Ya. Saya mencuci saputangan tersebut dengan air sabun dan muncul pesan yang ditinggalkan korban."

"Apa pesannya?"

"Garosu-gil street (Nama jalan di Sinsa-dong, Distrik Gangnam Korea Selatan)." Ucapku, "Itulah sebabnya saya menunggu di jalan tersebut untuk menemukan tersangka."

Presiden Lee mengangkat alisnya dan ia menuangkan teh ke cangkirku, "Saya tidak salah memilihmu untuk menyelidiki kasus ini."

Aku tersenyum tipis, "Terima kasih karena telah mempercayakan kasus ini pada saya."

Aku keluar dari istana dan Se Woo sudah menunggu di teras istana. Aku pun segera masuk ke mobil.

"Syukurlah kasus kali ini berjalan lancar." Ucap Se Woo dengan senyum sumringah.

"Hmm...." Gumamku, "Kita ke rumah sakit dulu. Aku ingin bertemu He Ra-ssi."

"Baiklah."

***

Sesampainya di rumah sakit umum Seoul, aku menuju kamar rawat He Ra. He Ra sedang memainkan HP dan ibu He Ra langsung menyambutku dan Se Woo.

"Kamu Kim Yoo In? Senang bertemu denganmu." Aku dan ibu He Ra bersalaman.

"Senang bertemu dengan Anda juga."
Aku dan ibu He Ra duduk di bangku.

"Tante sangat berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan He Ra. Anak SMA biasa tidak akan punya keberanian sebesar itu untuk temannya." Ujar ibu He Ra.

"Itu karena He Ra adalah sahabatku."
He Ra menoleh ke arahku dan tersenyum.

Tak terasa hari sudah sore, aku pun pamit pulang. "He Ra-ssi, besok kamu nggak perlu masuk sekolah."

"Aku akan secepatnya keluar dari sini."

Aku dan He Ra saling melempar senyum.

***

He Ra benar-benar tidak masuk sekolah hari ini. Dia memang perlu beristirahat karena kejadian itu pasti benar-benar membuatnya shock.

Seketika suasana kelas menjadi hening dan aku tahu apa alasannya. Rain datang.

Apakah mereka tidak bertanya kenapa ada manusia bermata merah?

Rain duduk di bangkunya. Kami saling bertatapan tajam.

Apakah harus Rain sebenci itu pada Se Woo? Tentu saja. Kuakui Se Woo memang sangat nekat.

Tiba-tiba Rain bangkit dan berdiri di depanku, "Kita perlu bicara."

Aku menatapnya terang-terangan, "Bicara apa? Semuanya sudah jelas. Kau perlu bukti jika ingin membawa Se Woo seonsaengnim ke pengadilan dan inikah caramu? Berusaha menyelidikiku juga?"

Rain terdiam karena suaraku yang cukup keras untuk didengar murid lain.

"Kau ingin mati?" Bisiknya penuh penekanan. Aku membelalakkan mataku takjub. Dewa Kehidupan bisa membunuh manusia?

Tak disangka Rain menarikku keluar dari kelas.

"Bukan itu yang ingin kubicarakan!" Ucap Rain dengan penekanan.

"Jadi yang kubilang tadi itu benar?"

Rain terdiam.

"Silakan menyelidikiku. Kau sudah mendapatkan sesuatu?" Rain masih terdiam. Apa dia tidak akan berkata apapun?

"Tersangka kasus yang kemarin kau tangani,..."
Aku diam dan menunggu lanjutan perkataan Rain.

"...apa sanksi yang ia dapat?"

Aku membelalakkan mataku terkejut, "Kau kan Dewa. Seharusnya kau tahu tanpa harus bertanya padaku kan?"

"Membaca pikiran manusia bukan kekuatanku."

Jadi... masing-masing Dewa punya kekuatan sendiri?

"Kekuatan apa yang kau punya?" Tanyaku.

"Kau sudah melihat salah satunya waktu itu."

Aku berpikir. Aku sudah melihatnya? Oh! Jangan-jangan...

"Kau bisa membuat orang tertidur?" Tanyaku memastikan. Aku ingat Rain yang menidurkan tersangka saat tersangka ingin memukulku.

"Ya." Jawab Rain, "Jadi apa sanksi yang tersangka dapat?"

"Sidang belum dijalankan. Kasus itu baru terungkap dua hari yang lalu."

Rain sekarang tampak berpikir, "Baiklah. Kelihatannya kasus ini pun di luar dugaanku."

Rain pun pergi begitu saja.

To Be Continued~

Note: Chapter 6 terbit nih.
Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 7 ^^

God Only KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang