#37 Jijik

319 21 0
                                    

Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamarku. Aku mengucek mataku dan meregangkan badanku.

Se Woo menyerahkan secangkir teh dan koran pagi seperti biasanya.

'Pelaku Kasus Pembunuhan Three Nails Killer telah ditangkap!'

Aku menyeruput tehku dan membalik halaman selanjutnya.

'Pelaku kasus tersebut telah ditangkap di kediaman milik salah satu selebriti Korea Selatan, Hwang Han Na.

NIS mengungkapkan bahwa motif kasus yang sebenarnya adalah dendam terhadap selebriti besar Korea Selatan Hwang Han Na.

NIS tidak mengungkapkan dengan detail apa motif kasus Three Nails Killer.

Banyak dugaan yang beredar di internet, namun semuanya hanyalah dugaan dan belum ada konfirmasi selanjutnya dari NIS.'

"Dunia depan benar-benar sulit dikendalikan sejak munculnya sebuah program bernama internet."
Gumamku, "Semua orang bebas mengemukakan pendapatnya tanpa dipikir lebih dulu dan itu membuat kejahatan semakin banyak."

Aku menyerahkan cangkir tehku yang telah habis. Aku pun segera mengambil handuk untuk mandi.

***

Aku sedang mengerjakan soal-soal sambil menunggu He Ra. Entah kenapa, aku merasakan pandangan yang menusuk. Aku pun menoleh ke belakang.

Ternyata Rain yang menatapku dengan penuh amarah dan energi yang begitu gelap. Aku salah apalagi?

Suara pintu kelas yang dibuka menyadarkanku. Ternyata Han Na sudah keluar dari rumah sakit.

"Yoo In!!" Seru Han Na sambil memelukku erat sampai aku tidak bisa bernapas. Melihatku yang sudah sesak, Han Na segera melepas pelukannya.

"Aku kangen!" Seru Han Na dan perhatian seluruh murid menuju ke arahku.

"Oh, iya." Jawabku canggung.

Han Na meletakkan tasnya di meja belakangku dan menarik kursinya untuk duduk di depanku.

"Aku nggak bisa bayangin kalau kamu nggak datang waktu itu." Bisik Han Na, "Terima kasih banyak, Yoo In."

Aku hanya bisa diam karena tidak tahu harus bilang apa.

"Nanti kita makan siang bersama ya? Aku akan menraktirmu."

"Nggak perlu. Aku sudah bawa bekal." Jawabku masih fokus pada soalku.

Han Na merebut pensilku dan aku menoleh, "Berhentilah mengerjakan soal-soal itu, Yoo In-a. Kamu diajari kalau bicara pada orang lain, kamu harus menatap matanya kan?"

Aku terdiam, "Kembalikan pensilku, Han Na-ssi."

Dengan kasar Han Na meletakkan pensilku di atas mejaku.

"Aku nggak mengerti dirimu. Kadang kamu baik dan kadang kamu dingin. Sebenarnya kamu tuh apa?"

Aku terdiam sebentar, "Aku manusia."

"Sudahlah! Kamu membuat moodku hancur!" Han Na pun keluar dari kelas.

Apa lagi salahku kali ini? Padahal aku hanya bicara 11 kata. Tapi aku sudah membuat orang marah padaku.

***

Hingga pulang sekolah, Han Na tidak mau bicara denganku. Kekanak-kanakan sekali.

Apa peduliku jika aku tidak bicara dengannya? Memang seharusnya begitu kan?

Aku sedang bersama He Ra untuk mendengar curhatnya di dalam kelas. Aku memang sahabat yang baik.

"Kim Yoo In."
Panggil suara yang sangat kukenal. Suara yang sangat tidak ingin kudengar sekarang.

Aku menatap Rain dengan amarah, sedangkan He Ra menatap Rain dengan senyum sumringahnya. Ya ampun.

"Goo He Ra, aku ingin mengambil Kim Yoo In sekarang." Ucap Rain seenaknya. He Ra menatapku dan Rain bergantian.

"Jadi kalian memang punya hubungan spesial ya? Ya ampun, Yoo In.... Kamu mengkhianatiku?"

Aku shock saat mendengar He Ra bicara begitu. Ya, memang hubungan 'spesial' antara Dewa dengan buronannya. Ya, itu 'spesial'.

"Sebentar ya, Rain? Aku mau ngomong kata penutup dulu ke Yoo In." He Ra mendekatkan mulutnya ke telingaku.

"Kamu cocok kok sama Rain. Aku mendukungmu!" Bisik He Ra dan aku langsung menatap He Ra shock.

"Dadah, Yoo In! Semoga sukses!" He Ra melambaikan tangannya padaku dan aku membalasnya. Ya, semoga saja aku sukses menghindari kejaran Rain.

Sekarang aku hanya berdua dengan Rain. Mungkin kalau ini cerita romantis, Rain akan menyatakan cintanya padaku. Tapi sayangnya, ini cerita fantasi.

"Aku yakin kau mendengar ucapanku kemarin saat di tangga." Rain memecah keheningan.

Aku pura-pura bodoh, "Ucapan yang mana?"

"Setelah kau menyelesaikan laporanmu, jangan harap kau bisa menghindar dari kami." Ucap Rain penuh penekanan.

"Oke, Rain. Sekarang aku takut." Ucapku sambil tersenyum miring, "Kau membawaku dalam rangka apa?"

Rain menatapku tajam, "Kau terlalu banyak tahu tentang kerajaan Para Dewa. Ketahuanmu itu harus dimusnahkan."

Aku menatap Rain terang-terangan, "Kau akan mengadiliku?"

"Kau akan tahu setelah sampai di sana. Karena itu ikutlah denganku."

Aku masih menatap Rain, "Aku mau--"

Rain menatapku kaget, "Kau mau ikut denganku?!"

"--mau tertawa pas kamu ngomong begitu." Aku tertawa terbahak-bahak.

Seketika energi gelap yang kuat menyelimutiku. Rain marah?

"Kau manusia pertama yang berani mempermainkan Dewa, Kim Yoo In." Rain mengeluarkan pedang yang sama saat ia akan menghalangiku kemarin.

"Weapon of the Gods." Ujarku keceplosan. Ya ampun! Seharusnya aku tidak memberitahu apapun tentang Kerajaan Para Dewa. Kenapa akhir-akhir ini aku ceroboh sekali?

"Kau bahkan tahu tentang... Weapon of the Gods?" Tanya Rain tidak percaya, "Kau bahkan tahu sabit kematian milik Hae Eun. Darimana kau tahu semuanya?"

Aku terdiam karena bingung. Masa' aku mengaku aku tahu dari tebakan asal?

To Be Continued~

Note: Chapter 37 terbit nih.
Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 38 ^^

God Only KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang