#64 Hancurnya Perasaan

278 19 3
                                    

Silakan memutar musik di atas.

Aku tidak akan menyesal dengan apa yang kupilih. Aku menatap He Ra dan teringat saat kami berlima tertawa, makan, jalan-jalan pertama dan terakhir kami di N Seoul Tower, mengobrol, mengerjakan PR bersama, belajar bersama untuk seleksi universitas.

Aku tersenyum. Terima kasih banyak, He Ra. Meskipun kamu adalah dalang di balik penderitaanku, ttapi terima kasih karena kamu mau mengukir kenangan indah bersamaku selama 8 tahun.

Aku menunggu hujaman batu itu mengenaiku. Tetapi, mengapa sama sekali tidak terasa apapun? Yang kudengar hanyalah pekikan seorang wanita.
Kupikir Se Woo yang melindungiku, karena itu aku membuka mataku.
Namun, yang kulihat bukanlah Se Woo yang berada di depanku.

Han Na.... Perutnya telah tertusuk hujaman batu itu untuk melindungiku. Mulutnya telah mengeluarkan banyak darah.

Aku tidak bisa mempercayai pemandangan di depanku. Aku harap ini mimpi yang akan segera hilang begitu aku menampar diriku. Aku segera menampar diriku. Tapi aku benar-benar berada pada kenyataan. Kenyataan bahwa Han Na... melindungiku.

He Ra mencabut runcingan batu itu dan Han Na terbaring di rerumputan. Mengeluarkan muntahan darah.
Aku segera mendekatinya dengan panik. Kuletakkan kepalanya di pahaku.

"Yoo... In...." Panggil Han Na.

"JANGAN BICARA! Aku akan... memberikan pertolongan pertama!"
Baru akan mengambil jaketku yang kugunakan untuk menutup kepala Im Sil, Han Na menahan tanganku.

"Aku... nggak a... akan se... lamat. Ja... di dengar... aku."

Aku menggeleng cepat. "Jangan bilang begitu, Han Na-ssi. Cuma kamu yang aku punya."

Han Na menggeleng lemah dan tersenyum. Ia meletakkan tanganku di dadaku.
"Kamu... punya... kami semua... di hati...mu sela...manya."

"Yoo... In..., aku men...dekatimu... waktu itu karena a...ku ingin kamu menye... lamatkan ayahku. Tapi nyatanya... ayahku harus... tetap pergi."

Aku menggeleng cepat, "Itu salahku, Han Na-ssi. Tolong jangan hentikan aku!"

Han Na masih menggenggam erat tanganku, "Yoo... In..., bahkan... sampai akhir... aku nggak... bisa mendapatkan... kepercayaanmu."

Air mataku bercucuran. "Kamu sudah mendapatkannya, Han Na. Maafkan aku karena nggak memercayaimu. Maafkan aku karena telah menuduhmu. Ini... salahku."

"Terima kasih... karena telah... membunuh... pelaku yang... membunuh... ayahku."
Aku terus-terusan menggeleng dan air mataku terus-terusan berjatuhan.

Han Na tersenyum dengan senyuman khasnya. "Kami... selamanya... ada... di... hatimu."

Genggaman Han Na mengendur dan akhirnya terlepas dari genggamanku. Aku menunduk menatap Han Na dengan air mata yang terus-terus berjatuhan bersamaan dengan air hujan.

Kututup mata Han Na dan kututupi kepalanya dengan cardiganku yang telah robek di sana-sini.

Akhirnya... aku sendirian. So Eun, Im Sil dan Han Na... telah pergi menyusul Detektif Hwang. Aku gagal melindungi mereka, mereka yang kusayangi. Mereka yang menganggap keberadaanku. Mereka yang rela mendukungku. Mereka yang selalu menanti kehadiranku.

Aku bangkit dan menatap Se Woo yang masih belum sadarkan diri. Kelihatannya aku harus menangani He Ra sendirian.
Kami saling bertatapan.

"Aku sudah rela menunggu Han Na menyampaikan pesan terakhirnya. Jadi, urusan kalian sudah selesai kan?"

Jujur, aku masih ingin tertawa bersama mereka berempat. Bercanda, jalan-jalan, bekerja, bersenang-senang bersama. Namun, mereka semua... pergi begitu saja. Jangan bercanda...

"JANGAN BERCANDA!!"
Angin seketika menghembus begitu kencang.

Kukeluarkan Water Fold untuk menahan He Ra. Dia memang tidak mati, tapi itu cukup untuk memperlambat gerakannya.
He Ra semakin melemah. Mungkin karena pertengkarannya dengan Se Woo.

Aku akan menusuknya dengan runcingan es. Namun saat melihat wajah He Ra dari dekat... membuatku teringat saat setiap jam makan siang, kami selalu makan bersama walau hanya berdua.

Tiba-tiba pinggangku terasa sangat sakit. Ternyata runcingan batu telah menggores dalam pinggangku. Aku terjatuh menahan sakit.

"Jangan lengah hanya karena mengingat masa lalu bodoh itu, Kim Yoo In."

Sekarang aku panas. Sekarang aku gusar dan marah saat He Ra mengatakan 'masa lalu bodoh'.

"Kau boleh berpikir jika masa lalu itu... bodoh. Tapi bagiku... masa lalu itu... adalah yang terindah."

Aku mengabaikan rasa sakit di pinggangku. Aku bangkit dan mengangkat tanganku menyamping sebanyak 90°. Muncul benang-benang putih dari punggungku dan keluarlah sepasang sayap bening yang sangat besar.

He Ra membelalakkan matanya tidak percaya, "Kamu... memakai Water Wings hanya untuk... menghabisiku?"

"Siapa pun yang telah mengusikku... dan sahabatku, dia harus... diseret ke neraka."

Aku mengangkat tanganku ke depan dan muncul guliran air di depan telapak tanganku.

"He Ra-ssi." Panggilku lemah, "Terima kasih. Meskipun kau hanya berpura-pura, tapi aku senang karena kau mau... mengukir kenangan indah bersamaku." Aku tersenyum.

"Tapi... kau tidak akan kumaafkan karena kesalahanmu yang begitu banyak! AKU AKAN MENYERETMU KE NERAKA!!"

Seketika air mencengkram seluruh tubuh He Ra. Awalnya kupikir, aku tidak akan sanggup berbuat begini pada He Ra. Tetapi saat mengingat So Eun, Im Sil, dan Han Na yang mati di depan mataku membuatku begitu murka. Membuatku begitu marah sampai rasanya ingin menghancurkan dunia.

Ledakan besar tak dapat dielakkan. Dengan Water Shield, kulindungi semua orang yang berada di sini. Water Shield juga kugunakan untuk menghindari ledakan yang Choi Min Ji buat di kasus pembantaian dan peledakan rumah sakit umum Seoul.

To Be Continued~

Note: Chapter 64 terbit nih.
Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 65 ^^

God Only KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang