#66 Dendam

289 19 1
                                    

"Yoo In, aku ingin memberitau sesuatu. Ini penting. Aku nggak tau kamu akan percaya atau enggak. Tapi dengarkan aku." Im Sil tiba-tiba serius.

"Ini tentang He Ra, sahabatmu."

Aku menatap Im Sil.

"Aku cukup sering bicara dengannya, tapi sebagian besar omongannya adalah... kebohongan."

Mataku terbelalak karena ucapan Im Sil barusan. Apa dia ingin bilang kalau He Ra sering berbohong?

"He Ra, dia selalu berbohong terutama jika aku menanyakan tentang orangtuanya. Aku ingin dia jujur, tapi aku pikir itu nggak perlu."

Aku terdiam.

"Kamu tau kan jika ayah He Ra sudah meninggal? Dia bilang kalau pekerjaan ibunya adalah pegawai, tapi aku sangat yakin dia bohong tentang itu."

"Bagaimana jika He Ra-ssi benar-benar nggak bohong dan kamu salah menafsirkannya?" Belaku.

"Kamu sudah lihat sendiri kan? Aku bahkan tau kebohonganmu dan mana kejujuranmu dengan tepat."

Aku terdiam.

***

"Kita ke teras gembok cinta saja yuk. Disana gratis." Ajakku akhirnya.

Setelah membayar makan siang, kami pun turun kembali dan menuju teras gembok cinta.

Sesampainya di sana, Han Na mengeluarkan kameranya dan kami berfoto bersama. Entah sudah berapa foto kami ambil, tapi mereka semua tidak lelah.

Benar-benar perempuan.

"Kalau aku punya pacar, aku akan mengajaknya ke sini dan menggembok nama kita berdua di sini." Ujar He Ra. Han Na, So Eun, dan Im Sil tertawa.

"Suatu saat, semoga." Aku membalasanya.

***

Beberapa ada yang duduk di kursi dan aku bersama He Ra, So Eun, dan Im Sil mendekati Han Na yang sedang menangis. Saat ia melihat kami, ia segera menghapus air matanya dan tersenyum.

"Kalian datang? Aku senang."

Aku benci. Aku benci senyuman Han Na. Kenapa? Kenapa dia tersenyum padahal ayahnya terbaring di dalam peti mati?!

"Jangan tersenyum, Han Na-ssi." Ucapku datar. Han Na menatapku bingung.

"Kenapa aku nggak boleh tersenyum? Aku senang kalian datang, makanya aku tersenyum."

Aku memeluknya dengan wajah datar, "Kami di sini, Han Na-ssi. Jangan anggap kami hanya ada di saat kamu senang. Kami di sini untuk berada di sisimu dan melindungimu."

Kurasakan bahu Han Na gemetar dan akhirnya ia menangis di bahuku.

"Maaf Yoo In... Maaf... Aku sudah janji untuk nggak... menangis lagi. Tapi... ini terlalu berat... untukku...." Han Na memelukku makin erat. Aku membiarkan ia menangis di bahuku.

***

"Dan Han Na-ssi, aku punya hadiah untukmu."

Mereka berempat terdiam dan Han Na menatapku, "Hadiah apa?"

Aku tersenyum, "Sayangnya ini hanya kata-kata. Tapi aku harap kamu bisa mempercayaiku."

Han Na terdiam kemudian tertawa pahit. "Dulu kamu bilang nggak akan percaya orang lain selain He Ra dan sekarang kamu minta aku percaya padamu?"

Aku menatap Han Na datar. "Memang. Tapi aku hanya ingin bicara satu kalimat kok. Percaya atau enggak, bukannya hal itu tergantung padamu?"

Hening.

"Aku nggak menuntutmu untuk percaya padaku, aku cuma ingin... kamu percaya sekali saja seumur hidup pada omonganku kali ini."

Hening.

"Han Na-ssi, makhluk yang sudah membuat ayahmu 'pergi',--"
Han Na terbelalak begitu aku menyebut kalimat barusan.

"--aku sudah... menyeretnya ke neraka."

Han Na langsung bangkit dari kursinya dan mencengkram bahuku, "Apa?!"

Aku tersenyum, "Jika kamu ingin tau siapa pelakunya, aku akan menjawab. Kamu ingin tau?"

Han Na terdiam. Begitu pula He Ra, So Eun dan Im Sil.

Kulihat bahu Han Na bergetar,
"Si... apa?"

"Kim... Jin... Se."

Hening.

Tatapan Han Na tampak diantara nanar dan tidak percaya.
"A... pa?"

"Nggak percaya? Terserah. Pilihanmu untuk percaya atau enggak. Tapi, aku sudah menyeretnya ke neraka, sesuai janjiku pada diriku sendiri."

"Yoo... In...." Gumam Han Na tidak percaya.

"Kaget ya? Aku sih nggak kaget. Aku sudah tau dari awal kalau Kim Jin Se memang... mengincar ayahmu."

Han Na menatapku tak percaya, "Kamu tau... ayahku akan... mati?"

Melihat tatapan Han Na membuatku membuang muka, "Ya, aku tau dan aku membiarkan begitu saja dia mati. Jadi karena itu... aku menebus kesalahanku dengan... membunuh Kim Jin Se dengan kekuatanku."

***

Aku terbangun dan langsung melihat di sekelilingku.

Kamarku. Ya, ini adalah kamarku.

Kulihat Se Woo sedang menuangkan teh di cangkir, "Selamat pagi, Nona Muda."

Aku langsung melihat pinggangku yang terluka. Ternyata sudah dibalut perban.

Ternyata kejadian itu... benar-benar nyata. So Eun, Im Sil, dan Han Na... sudah pergi untuk selamanya.

"Bagaimana dengan... He Ra-ssi?" Tanyaku datar.

Se Woo menatapku, "Dendam Anda... sudah terbalaskan."

Aku tersenyum lega, "Ini bukan dendamku, tapi milik Soo In oppa. Aku hanya menggantikannya untuk membalaskan dendamnya."

Se Woo memberikan secangkir teh padaku dan membaca tabloid pagi seperti biasanya.

Tes
Kulihat tetesan darah di koran. Kuusap wajahku, ternyata aku mimisan. Kuambil tisu di laci dan menjepit hidungku.

"Anda baik-baik saja?"

Aku mengangguk.

Setelah mimisanku berhenti, aku segera bicara pada Se Woo, "Kau sudah berapa lama menunggu untuk kekuatanku, Se Woo-a?"

Se Woo tersenyum, "Kurang lebih 6 tahun."

"Nona Muda... Saya menemukan surat ini di gudang." Se Woo menyerahkan sebuah amplop padaku.

"Apa ini?" Tanyaku bingung dan membuka amplopnya. Surat ini terlihat sangat tua. Bahkan amplopnya sampai berwarna kuning-kecokelatan.

Untuk anakku tercinta.

Ibu tidak tahu kapan kamu akan membaca surat ini. Tapi ibu harap kamu membacanya saat kamu sudah bisa membaca dan mengerti bahasa Korea.

Selembar kertas sebenarnya tidak dapat menceritakan segalanya. Tapi ibu akan meringkasnya, jadi baca surat ini baik-baik.

Flashback on~

To Be Continued~

Note: Chapter 66 terbit nih.
Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 67 ^^

God Only KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang