#18 Janji-ku

351 20 0
                                    

"Karena saya buru-buru waktu itu, saya tidak memerhatikannya. Namun saya yakin jika waktu itu adalah hari pertunangannya."

"Sebentar, kenapa kau bisa ada di sana saat pertunangan Rain dan Hae Eun? Kau tinggal di kerjaan Terre Des... apalah itu?"

Se Woo tersenyum, "Bagaimana caranya saya mencuri kekuatan Para Dewa jika saya tidak tinggal di sana?"

Aku terdiam cukup lama. Se Woo mencuri kekuatan Para Dewa dan Rain ingin 'membawanya'.

Aku pun turun dari bangsal.
"Aku harus mencari He Ra-ssi."

"Nona Muda, Anda tidak mungkin bi--"

Aku menatap Se Woo tajam, "Jangan menghalangiku."

Aku menyibak gorden dan aku kaget karena ada petugas kepolisian di depanku.

"Selamat malam. Apakah Anda Nona Kim Yoo In?"

Aku menatapnya kemudian mengangguk.

"Saya ingin melaporkan bahwa Goo He Ra telah ditemukan."

Aku langsung mencengkram lengan baju polisi tersebut, "Di mana dia sekarang?!"

Anehnya ekspresi polisi tersebut menjadi... kosong?

"Kenapa ekspresimu begitu? Ada apa dengan He Ra-ssi?! Jawab!"

"Nona Goo He Ra... kondisinya saat ini sedang kritis."

Wajah panikku seketika berubah menjadi wajah datar, "Aku sedang nggak ingin bercanda sekarang, Pak."

"Maafkan saya. Tapi sekarang... saya sedang serius."

Aku terdiam cukup lama karena bagaimana bisa... He Ra... kondisinya kritis?

"Di mana dia sekarang?"

"Saya akan mengantar Anda ke ruang rawatnya."

Aku dan Se Woo berjalan mengikuti polisi dan akhirnya kami sampai di depan ruang rawat bernomor 739.

Polisi tersebut membukakan pintu dan tanpa basa-basi aku langsung masuk. Ibu He Ra telah ada di sana. Beliau memegangi tangan putrinya sambil menangis.

Akhirnya ibu He Ra melihatku dan tatapannya masih sendu.

"Kim Yoo In, syukurlah kamu datang." Ibu He Ra tersenyum padaku.
Kenapa? Kenapa ia masih bisa tersenyum padahal putrinya ada di depannya dan dia sedang kritis.

Kenapa sejak saat 'itu', aku tidak bisa tersenyum seperti itu lagi?
Kenapa hanya ada dendam yang menyelimutiku?

"He Ra-ssi... kenapa dia... bisa?" Tanyaku terputus-putus karena shock.

Ibu He Ra mendekatiku dan menepuk pundakku lembut, "Dokter bilang kalau He Ra... dipaksa untuk minum racun. Bahkan dokter tak tahu, racun jenis apa yang ia telan."

Racun? Siapa orang gila yang beraninya memaksa He Ra menelan racun?! Aku tidak kuasa menahan emosiku sekarang. Mungkin perempuan dengan perasaan normal akan menangis sekarang. Tetapi... perasaanku bukan perasaan manusia normal. Tidak ada setetes pun air mata jatuh dari pelupuk mataku. Yang bisa kulakukan hanyalah menahan amarah di dalam hati.

Pelan-pelan kudekati He Ra dan kusentuh pundaknya. Wajah He Ra benar-benar pucat. Tapi aku yakin, He Ra pasti bisa melewati ini semua. Ia jauh lebih kuat daripada aku.

"Ini salahku--" Ucapku dan ibu He Ra menoleh ke arahku,
"Seandainya ia tidak berteman denganku, He Ra-ssi pasti... sedang tertidur dengan lelap dirumahnya. Bukan terbaring kritis di sini."

Tak disangka ibu He Ra memelukku, "Ini bukan salahmu, Yoo In. He Ra beruntung memiliki sahabat baik sepertimu."

Pelukan ini... Kapan terakhir kali aku... merasakan pelukan sehangat ini? Di mana? Dengan siapa?

Flashback on

"Ayah!! Aku menemukan capung disini!"
"Mana? Coba ayah lihat?"

Seorang anak perempuan berumur 3 tahun berlari ke arah ayahnya dan menunjukkan capung yang ia tangkap.

"Wah, hebat putri ayah. Yoo, sekarang lepaskan capungnya."

Anak yang bernama Kim Yoo In itu menatap ayahnya, "Aku sudah menangkapnya. Kenapa ayah menyuruhku melepaskannya?"

"Yoo In, bayangkan jika kamu ditangkap dan dikurung oleh seseorang? Apakah Yoo In mau?"
Dengan cepat Yoo In menggeleng.

"Nah, capung ini juga begitu. Dia juga sama seperti kita. Dia juga ingin bebas."

Yoo In menatap capungnya sebelum akhirnya ia melepaskannya.

"Pintar anak ayah!" Ayah Yoo In memeluk putri kecilnya dengan lembut dan hangat.

"Aku sayang ayah selamanya."

Flashback end

Memori masa kecilku terulang kembali. Apakah itu terakhir kalinya aku dipeluk sehangat itu oleh ayah?

Ibu He Ra melepaskan pelukannya dan menepuk pelan pundakku, "He Ra akan baik-baik saja. Tante yakin kalau dia kuat."

Aku menatap He Ra yang terpasang selang oksigen di hidungnya, "He Ra-ssi... jauh lebih kuat daripada aku."

Aku masih menatap He Ra. Apakah ia akan terus seperti itu? Apakah ia tidak ingin melihatku?

"He Ra-ssi, bangunlah. Ini perintah." Bisikku pelan, "Kamu nggak mau melihatku?"

"He Ra-ssi, kalau kamu bangun, aku janji akan membelikan bibimbap kesukaanmu. Aku janji akan membelikan jus melon kesukaanmu juga. Aku juga nggak akan memarahimu kalau kamu ingin bilang Rain keren. Aku juga nggak akan marah kalau kamu bilang aku aneh karena aku suka cowok anime. Tapi kamu... bangun. Kumohon...."

Hanya bunyi gelombang elektrokardiograf yang terdengar di suasana sunyi ini. He Ra...

"Janji ya...."

Aku langsung membelalakkan mataku saat mendengar suara lemah He Ra dan aku melihat matanya telah terbuka. Syukurlah.

"He... He Ra -ssi!" Panggilku di antara terkejut dan senang. Ekspresi ibu He Ra juga langsung berubah menjadi lega.

"Kamu... baik-baik saja?" He Ra menatapku heran. Apa maksudnya ia bertanya begitu?

To Be Continued~

Note: Chapter 18 terbit nih.
Aaaaaa, author baper sama chapter yang ini. Ngebayangin kalau sahabat author sendiri yang ngalamin. Jangan sampe, Ya Allah.
Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 19 ^^

God Only KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang