2: Algy's Rival

294 18 7
                                        

      Algy duduk di lantai, ia ingin merendah saja. Padahal di situ ada sofa. Ia ingin merasakan dinginnya lantai saat malam, terlebih sehabis hujan seperti tadi. Algy berpikir, ia jadi ingin ikut merasakan apa yang Shafa rasakan. Siapa tahu ini kan membayar perbuatannya yang jauh dari kata baik. Ia sadar sikapnya terlalu dingin untuk Shafa, atau bahkan .... kasar.

"Eh, Abang." pekik seseorang yang baru saja masuk. Adiknya.

Algy reflek tersenyum. "Ya emang siapa lagi?" timpalnya. Membuat adiknya itu tertawa. Algy juga ikut tertawa karenanya, meski terlihat dibuat-buat.

"Dari mana lo baru pulang? Mana baju lo basah kayak gitu." Algy berkilat-kilat sendiri. Ia tidak sadar diri, ia juga baru sampai. Hah, setidaknya ia lebih tua 2 tahun dari adiknya.

"Dari Alun-alun." jawab adiknya. Algy tertegun sebentar. Dia juga dari tempat yang sama, tapi mereka tidak bertemu.

"Lah, gue juga dari situ."

Algy menatap lurus-lurus adiknya. Ia seperti melihat seseorang seperti dirinya disana, atau memang dia, atau hanya mirip, entahlah, Algy lupa.

•••

      Shafa baru saja selesai mengompres tangannya yang lebam. Ia kini berjalan menuju cermin, lantas menatap bayangannya yang menyedihkan disana. Dirinya memang cantik. Namun tidak pada kisah cintanya.

Shafa tersentak, handphone-nya yang tergeletak di meja rias bergetar hebat. Hampir saja jatuh. Cepat-cepat ia mengambil ponselnya, ada satu panggilan masuk rupanya. Shafa mengernyitkan dahi. Disitu hanya tertera deretan angka, yang mana artinya Shafa belum pernah menyimpan nomor itu di buku telepon.

Shafa sejujurnya sangat malas mengangkat. Ia sedang tidak punya gairah untuk berbicara dengan siapapun. Tapi barangkali itu nomor baru sahabatnya, atau jangan-jangan ada informasi penting yang belum pernah ia dengar. Shafa akhirnya menyerah, ia penasaran dengan si penelepon, dan ingin tahu berita besar apa yang akan disampaikan oleh orang itu.

"Assalaamu'alaikum, Shafa disini. Ini siapa?" Shafa membuka pembicaran pertama-tama. Raut wajahnya mencerminkan keseriusan.

Sementara yang disini hampir berlumut menunggu jawaban, seseorang di seberang sana malah tertawa memekakan telinganya. Shafa spontan mengernyitkan dahi, tangannya tergerak menjauhkan ponsel dari telinga. "Halo?" ulangnya. Sepertinya orang itu tidak mendengar suaranya yang terlalu lembut.

"Eh iya, halo. Wa'alaikumussalam, beautiful!"

Shafa terdiam sekaligus terenyuh. Tangannya perlahan melemas. Shafa menyekap ponselnya di dada. Bibir cantiknya terbuka membentuk huruf 'O'. Tidak salah lagi, ini adalah pemuda yang tadi meminjamkan Shafa jaket dan membiarkan badannya sendiri basah. Shafa masih ingat panggilan pertamanya dari Ardi.

Shafa mematikan teleponnya. Ia mematung di tempat. Ia tidak pernah merasa pernah bertukar nomor telepon dengan Ardi.

•••

      Algy baru saja keluar dari toilet untuk mencuci muka. Dilihatnya kini kamarnya sunyi sepi, padahal belum lama tadi ia bersama adiknya. Algy mencoba untuk menalar, itu kan tadi. Ia pun mulai berjalan dan terduduk di tepi tempat tidur. Tak ayal tangan Algy meraba-raba sisi di sekitarnya, handphone-nya tak ada di tempat. Padahal Algy ingat betul, dia menaruh handphone-nya sendiri disini tadi.

Algy lalu berjalan kembali dan menyibak gorden kamarnya, matanya menangkap sang adik sedang berdiri di teras depan kamarnya, dengan ponsel yang tertempel di sebelah telinga.

"Eh iya halo. Wa'alaikumussalam, beautiful!"

Algy terbelalak di detik yang sama, kedua alisnya menaut. "Ardi punya pacar?" gumamnya sangat pelan.

Algy pun terdiam sejenak. "Like I care." Algy mencibir. Ia menaikkan kedua bahunya. Tidak mau tahu.

Algy membalikkan badannya dan menemukan ponselnya di rak dekat lemari. Dengan layar yang menunjukkan daftar nomor-nomor orang. Buku telepon.

•••

      Shafa memandang lengah pada kertas jawaban di hadapannya. Sudah 90% dari kesuluruhan soal ia jawab. Entah benar atau tidak. Intinya ia dapat nilai. Ia kehilangan gairah belajarnya, tapi mau tak mau ia harus belajar, karena kalau tidak adiknya yang perempuan akan mengoceh, lalu bilang, Kakak malas sih pantas diputusin. Huft, Shafa melengos mengingat itu. Sesekali matanya melirik ponsel miliknya yang tergeletak di kasur.

Shafa membuat lipatan tangan di atas meja belajar. Lalu menaruh kepalanya di atas itu. Matanya terpejam.

"Lo itu pengecut!"

Tuhan.. Bisakah kalimat ini segera hilang dari ingatannya. Shafa tidak tahan kalau begini caranya. Shafa menggigit bibir bawahnya sendiri. Kata-kata itu kembali terputar. Di waktu yang tidak tepat.

•••

      Algy menyandarkan setengah badannya pada kepala tempat tidur. Sebelah tangannya sibuk menekan-nekan remote TV. Acara hari minggu malam tidak ada yang bagus. Kalau saja ada acara musik, itu pasti lebih baik untuk dirinya. Dirinya yang sedang gundah itu. Kasihan.

Ardi sendiri kini sedang duduk di karpet, tangannya mengebet lembar demi lembar sebuah buku kecil. Kadang, pemuda itu melirik ke langit-langit kamarnya sambil komat-kamit. Algy yang menyadari tingkah aneh adiknya buru-buru mengambil bantal, lalu menghantamkannya dengan cukup keras ke lengan kiri Ardi.

"Kenapa sih lo?" tanya Ardi senga. Tampangnya sewot bukan main. Algy terkekeh melihatnya. "Gue yang harusnya tanya. Lo itu kenapa?" timpalnya sedikit lebih lembut.

Ardi tidak menggubris, malah mencibir Algy diam-diam.

Algy terdiam melihat buku kecil yang dipegang Ardi. Mulutnya komat-kamit membaca tiap huruf yang dicetak tebal dan besar pada bagian cover. "Lo tumben-tumbenan baca kamus Jepang. Emang di 77 ada pelajaran bajep?" tanya Algy, raut wajahnya menggambarkan perasaan herannya.

Ardi berdecak sebal. "Bang, mending lo tidur dah, biar gue tenang sedikit," ucapnya dingin.

Algy mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Lo yang tidur! Bocah!"

•••

      Shafa dengan lesu memasukkan alat-alat tulisnya ke tempat pensil. Ia memilih tidur lebih cepat untuk mengistirahatkan otak. Belajar malam ini sudah cukup membuatnya pusing. Belum lagi ditambah kata-kata Algy yang terus menghantuinya hingga malam ini. Lemas, lesu, juga lunglai yang kini Shafa rasakan.

Tiba-tiba saja, layar handphone-nya. Seseorang pasti telah mengiriminya pesan singkat. Tapi siapa? bukan Algy yang pasti. Asal kalian tahu, sebelum mereka berpisah pun Algy sudah jarang sekali menghubunginya. Dapat ucapan selamat malam dari Algy bisa diibaratkan seperti menemukan jarum di antara setumpuk jerami. Mustahil.

Shafa mengerahkan sisa tenaganya untuk mengambil ponselnya dua tau tiga inci dari buku paket Biologi.

0813667788**: Oyasuminasai, Shafa-san!

Menyesal. Mengapa tadi ia membukanya. Begitulah sekiranya yang saat ini terbesit dalam benak Shafa. Shafa langsung saja meletakkan kembali handphone-nya. Tiada ekspresi apapun yang tergambar di wajahnya. Dia hanya butuh penjelasan, bagaimana orang itu dapat mengetahui nomornya sementara mereka tak pernah bertukar nomor.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang