Shafa berjalan sendirian menggenggam tali tas gendongnya. Jalannya terkesan buru-buru. Shafa ingin segera ke rumah, menemui keluarganya yang sedang tidak baik cuaca hatinya itu. Shafa harus tahu diri, tidak ada yang bisa dilakukan gadis macam dirinya di pulang sekolah seperti ini. Shafa benar-benar akan mengunci dirinya di rumah sampai pagi lagi. Shafa meringis hebat mengingat nasib buruknya, lagi. Shafa berhenti dengan pandangan tertunduk, matanya menyipit demi menghindari terik matahari yang menggila. Kepalanya pening tiba-tiba, membuat Shafa harus berjalan dengan sangat perlahan agak meminggir. Shafa duduk di sebuah kursi depan pos satpam. Menunduk sembari terus memijat keningnya, harap-harap peningnya itu minggat dan tak datang lagi.
"Gue udah pernah ngambil first kiss lo, kan?"
"Astaghfirullah..." Shafa mendesah berlebihan. Kepalanya mendadak hanya mengingat satu kalimat saja. Kalimat itu, yang hadir di dalam mimpinya, yang dilontarkan Algy, yang.... sebenarnya memang terjadi. Iya, apa yang Algy katakan di mimpinya itu memang benar. Algy mendapatkan itu. Sesuatu yang Shafa jaga-jaga sejak kecil, lalu kini hilang sudah diambil Algy yang saat itu statusnya sebagai kekasih Shafa. Shafa membisu, tangannya perlahan terangkat untuk menyentuh bibirnya sendiri. Shafa terpejam, bahunya bergetar, seperti menangis tapi tidak berniat menangis. Tanpa suara.
Shafa masih menyesali kebodohannya itu. Shafa meraba bibirnya sendiri dengan tangan yang gemetar kecil. Algy pergi setelah meninggalkan garis tengah pada bibir mungilnya. Shafa melirih tanpa ada airmata, suara rintihan dari mulut Shafa samar-samar mulai terdengar oleh Made yang kebetulan tengah menuntun sepedanya melewati Shafa. Made berhenti menuntun sepedanya, kepalanya ditolehkan ke berbagai arah untuk mencari sumber suara yang terdengar pedih. Mungkin saja salah satu murid disini sedang sakit dan memerlukan pertolongannya. Melindungi dan mengayomi siswa adalah tugasnya, Made sangat berpegang pada kewajibannya tersebut.
"Ehm.. Assalaamu'alaikum, Pak. Cewek ini kenapa ya, Pak? Dia sakit? Ada yang jemput gak?"
Shafa berhenti dengan sendirinya. Pelan-pelan mulai memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, entah mengapa, suara Ketua Osis itu mampu mendorongnya untuk ingin melihat kembali gambaran dunia yang sempat ia sembunyikan dari penglihatan. Shafa langsung mengalihkan pandangannya begitu pandangan mereka bertemu. Sebisa mungkin menghapus kesan hancur dan kacau-balau di wajahnya. Shafa menghadapkan tubuhnya ke jalan raya, bulu kuduknya mendadak berdiri ketika mendengar suara sepeda yang sedang disandarkan ke tembok.
Shafa terpaksa menoleh dan membalikkan badannya, Made duduk di sebelahnya dan nampak sedang berusaha mengamati Shafa yang tadi sedang membelakanginya. Made menyipit sambil memegangi gagang kacamatanya. "..Jeehan Shafani, Ketua Pengurus Perpustakaan, bisa 5 bahasa, anak kesenian, anak emas. Betul kan gue?" tanyanya membuka pembicaraan. Shafa tersentak, Made melihatnya dengan jarak yang dekat, seperti yang Willy lakukan waktu itu.
"Yes or no?"
Shafa menelan ludahnya dengan susah payah. Lalu, tersenyum sembari berusaha menjauhkan badan Made dari sisinya. Shafa pelan-pelan mengangguk. "That's right.." ucap Shafa masih berusaha bersikap manis.
Made tersenyum setengah manggut-manggut. "Ya, gue tau. Siapa juga yang gak kenal elo."
Shafa tersenyum paksa disertai kekehan pelan. Tapi senyumnya luntur tiba-tiba. "Wait..." Shafa memakukan tatapannya terhadap Made. "Apa maksudnya gue anak emas?"
"Haduh, Shafa.." Made memutar matanya malas. "IQ terbesar di 77 dipunyain sama lo. Lo selalu juara umum tiap semesternya. Lo seharusnya cari sekolah yang ada akselerasinya, bukan disini!" ujarnya penuh penekanan. Shafa mendengarkannya dengan seksama.
Shafa tertawa kemudian. "Lah lo apa kabar? IQ lo beda 7 point sama gue. Dan lo peringkat 2nya kan? Lo seharusnya juga cari sekolah yang ada akselerasinya. Yes or no?" timpal Shafa tak mau kalah. Ditekan-tekan agar Made dapat balasan yang setimpal.
Made baru membuka mulutnya, niatnya ingin menyela Shafa lagi tapi.. Shafa memperlihatkan lima jarinya kepada Made. Mata gadis itu sepenuhnya memandang ke arahnya. "Dan lo Ketua Osis," lanjut Shafa dengan sebuah senyum simpul nan miring.
Made mengedarkan pandangannya ke dalam ruang pos satpam. Lalu, mengambil sebuah pentungan dari meja di sana. Made menurunkan tangan Shafa dengan pentungan tersebut.
"Gue nggak ngejabat sampe 3 periode kayak lo, ya!" ujar Made. Langsung saja mengembalikan pentungan itu pada si pemiliknya dengan ramah. Made mengembalikan tatapannya pada Shafa, matanya ditarik ke sudut atas selang beberapa detik. Made bergumam.
"Setau gue masa jabatan cuma sampe 2 periode, deh."
"....hm..."
"Yes or no?"
"Yea, certainly."
"Then? How could you be?"
"What? Gue.." Shafa mendadak kehilangan atmosfernya. Shafa menggigit bibir bawahnya sendiri, kakinya bergoyang-goyang seperti cacing kepanasan. Shafa akhirnya tertawa dengan mata yang tertutup rapat. Tawanya terdengar sangat geli. Made bisa mengira jika dibalik ini semua ada kejanggalan yang lucu. Made tidak tahu jika Shafa memang sangat senang tertawa.
"Apaan sih," heran Made disertai kerutan pada dahinya. Alisnya naik sebelah.
Shafa melirik Made sambil berusaha memelankan suaranya. Shafa masih terkekeh pelan. "Ini konyol. Like- Oh gooodddd ini konyol banget sumpah!" Shafa heboh sendiri.
Made menghembus nafas asalnya. "Whatevahh. Pertanyaannya sekarang adalah, yang konyol itu apanya?"
"Heuh!" Shafa melengos. Lalu, menarik nafas dalam dan menghembusnya dengan sebuah senyum genit. Matanya memandang ke atas. "Jadi,"
"Waktu itu gue masih anak baru banget disini. Gue belum kenal Gea or elo, or Ve, or Romeo, or siapapun. Kita masih jadi peserta MBS. Di hari terakhir MBS, gue nunggu jemputan, disitu posisinya senior kita udah masuk kan. Nah.."
"Senior-senior banyak yang godain gue. Kebanyakan sih.. anak bermasalah gitu,"
"Pas gue udah mulai masuk sebagai abg putih abu-abu, semua kakak kelas itu selalu ngikutin gue kemanapun. Mereka tau kalo gue suka banget baca di Perpustakaan. Ya lo bisa tebak apa yang terjadi," ucap Shafa santai. Langsung saja menatap tepat ke bola mata Made.
Made manggut-manggut. "Mereka.. Ikut ke Perpustakaan dan pura-pura baca?" tebaknya. Shafa tersenyum.
"Ya, berbondong-bondong!"
"Yeah, I see."
"Terus akhirnya Ketua Perpus waktu itu nyerahin jabatannya ke gue. Gue jadi semacam duta perpus gitulah, lucu banget kan?"
"Gue promosiin perpustakaan ke kelas-kelas. Dan berhasil, makin banyak yang buat kartu perpustakaan. Jadi makin banyak juga yang minjem buku disini. Pengurus Perpustakaan pun jadi gak ngerasa nganggur. Intinya..."
"Semua berjalan indah. Sekarang, gue serasa gak mau keluar dari sekolah ini,"
"Gue juga mau ngulang kehidupan gue lagi dari gue gak ngerti apa-apa. Andai aja.. Waktu bisa diulang. Dan gue gak pernah ngambil keputusan singkat itu, hati gue gak akan pernah sepatah ini pasti."
Made tertegun memandang Shafa di sebelahnya. Keadaan berubah sendu tiba-tiba. Made juga ingin protes, mengapa Shafa jadi mengatakan sesuatu yang Made tidak mengerti maknanya di bagian-bagian akhir. Shafa curhat dan membicarakan apa, Made sendiri tidak begitu paham dengan perempuan. Made merekahkan senyumnya pelan-pelan. "Gue gak ngerti yang terakhir. Tapi, sebagai orang berakal sehat, gunain waktu lo sekarang buat perbaiki yang lalu dan merancang yang akan datang. Life must go on, setuju?" ucapnya.
Shafa tersenyum, lalu mengangguk. "Arigatou."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.