"Coba berhenti untuk menjadikan dia sebagai alasan kebahagiaanmu. Rasakan, kamu akan berhenti pula merasa dikecewakannya."
•••
"Gea? it's me, Shafa. Your best friend!"
Tepat sekali. Seseorang dari dalam membukakan pintu untuk nya. Shafa mendongak, raut wajahnya berubah seketika. Matanya yang sudah berbinar-binar menatap tepat di bola mata indah seseorang di hadapannya. Kedua bibirnya terkatup rapat. Bahunya bergetar kecil. Shafa tak kuat lagi, ia pun segera menghambur ke dalam pelukan sahabatnya itu, tangisannya pecah di dalam sana. Ia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. Ia tak kuasa membohongi perasaannya.
Shafa menangis sejadi-jadinya. Dengan penuh harap sesuatu yang telah menyeruak di dadanya akan hilang. Hatinya perih mengingat 'itu' lagi.
Gea belum membalas pelukan Shafa. Dia masih tertegun di ambang pintu; tidak tahu apa penyebab dari tangisan yang kedengaran sangat pedih ini. Lambat laun, kini mata Gea mulai berair, seiring pula tangisan Shafa yang semakin terdengar amat menyakitkan. Gea sedikit yakin, ini ada hubungannya dengan pemuda sialan itu. Gea perlahan mengusap punggung Shafa, meski tidak ada harapan Shafa akan berhenti menangis. Gea sangat tahu seorang Jeehan Shafani, Ketua Pengurus Perpustakaan yang nampak seperti Barbie namun agak kelaki-lakian pada aslinya, tidak mungkin Shafa menangis jika bukan karena masalah yang sangat besar.
"Kita masuk dulu .. Oke?" ucap Gea lembut. Shafa mengangguk lemah, tangisan itu telah mengambil banyak tenaganya.
Gea menggiring Shafa sampai ke tepi tempat tidurnya, lalu membantu gadis malang itu duduk disana.
Gea menghembuskan nafasnya asal, pandangannya ia buang sebentar. Ia tidak tega melihat kondisi Shafa begini.
"Now, tell me the reason" ucap Gea. Ia berlutut di hadapan Shafa. Kepalanya mendongak menatap bola mata indah Shafa. Iya, terlihat sangat indah dengan tambahan kesan basah dari air matanya.
Shafa mengusap pipinya yang sempat banjir. "The reason of what?" tanyanya. Entah benar-benar tidak tahu atau bagaimana.
"Ck," Gea berdecak. Ia memutar bola matanya sinis. "Lagi gak casting, jangan suka pura-pura bego." kesal Gea. Shafa tertawa geli melihat ekspresi sahabatnya itu. Lihat, Shafa selalu kuat saat bersama Gea.
Shafa menghela nafasnya panjang-panjang. Kepalanya didongakkan, Shafa bertekad dalam hati, air mata itu tidak boleh turun lagi.
"Oke oke." Shafa mulai mengawali. Gea menggeser sedikit posisinya menjadi lebih dekat.
"Tadi gue ke cafe deket SMA 68,"
"What?!" Gea kaget duluan. Sungguh, ini belum ada 25% pun dari yang ingin Shafa katakan.
"G, biasain denger sampe abis dulu baru what-what-an." ucap Shafa gemas pada tingkah sahabatnya, si tukang heboh sendiri.
Gea tertawa kecil. "Oiya terus terus?"
"Terus pas gue baru dateng, gue tabrakan sama orang. Gue gak jatuh, ada yang nolongin gue," paparnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar Gea.
Gea tersenyum geli mendengarnya. "Ganteng pasti?"
"G, dia cewek. Dan dia adek kelas kita." lanjut Shafa. Ia membuang pandangannya asal. Tangannya mencengkram kuat sprei kasur Gea. Ia serasa tidak ingin mengatakan 100% dari cerita ini.
"Lo tau kan adek kelas yang-"
"Angelina Veronica XI. IPS 1?" potong Gea. Wajahnya sangat datar. Spontan mata Shafa membulat menatap Gea, wajahnya menunjukkan raut kepuasan atas tebakan Gea. "AAHH EXACTLY!" ujar Shafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.
