44: Stranger

107 9 0
                                    

Haiiiiii! Maaf ini terlalu terlambat updatenya. Kagak ada waktu sumpah buat ngetik.

•••

      Shafa membuka pintu kamarnya dan langsung terhenti pada satu benda di atas ranjang tidur, tas sekolahnya yang telah mengundang Shafa untuk datang kesini. Shafa lantas mendekat dan mengaitkan sebelah tali tasnya ke pundak. Shafa termenung dulu memandang langit kamar, seperti orang mengingat-ngingat.

"Gak ada lagi kan ya yang mau gue bawa?" gumamnya. Matanya dipencarkan ke segala penjuru dengan sangat tajam. Begitu terus hingga ia berbalik dan mendapatkan sebuah buku bersampul kertas kado di atas meja belajarnya. Buku yang.... tunggu sebentar, Shafa kini berjalan mendekatinya. Menyentuhnya, mengamatinya dengan mulut yang terbungkam.

"Ini keren banget deh alurnya. Besok bawa ya, aku jadi pengen tau endingnya nih. Kamu yang bikin kan?"

"Masa sih?" gumam Shafa setengah berdesis. Shafa tidak percaya dengan ucapan Willy semalam. Bukan karena apa, Shafa hanya tidak percaya ada yabg mau memuji karya tulisnya. Cerita itu tidak pernah ia publikasikan. Bahkan Gea pun, satu-satunya orang yang Shafa izinkan untuk membacanya tidak pernah sekali saja meninggalkan ungkapan manis atas hasil ciptaan sahabatnya ini. Apalagi yang sedihnya, setiap Shafa berusaha membujuk Gea agar mau membaca, Gea selalu punya banyak alasan, tapi tidak pernah punya alasan untuk tidak membaca cerita orang lain. Seikhlas itu Shafa diperlakukan buruk oleh persahabatan.

Shafa tersenyum geli sambil membayangkan wajah Willy ketika mengatakannya. Pujian pertamanya dari Willy.

"Hust!"

"Eh-" Shafa terkesiap detik itu juga. Tubuhnya langsung disengajakan terlihat lunglai kepada Willy di luar jendela. "Kaget..." ucapnya sambil melotot ke arah Willy. Willy hanya tertawa menyaksikannya.

•••

      Shafa berjalan cepat setengah berjinjit menuju dapur rumahnya. Dengan sangat segera kedua tangannya itu langsung mengambil kotak berisi donat-donatnya yang belum dipolesi topping apapun. Shafa tidak langsung membuka tirai dapur dan keluar agar mempersingkat waktu. Shafa malah terduduk di salah satu kursi di meja makan, membuat lipatan tangan dan menyusupkan kepalanya ke dalam situ. Lalu terpejam dengan sendirinya.

Dengkuran halus seorang Shafa yang keletihan samar-samar mulai terdengar. Tapi raganya tidak seutuhnya pergi ke alam bawah sadar. Pendengarannya masih tajam, ia juga sadar bahwa kini Willy berusaha memanggilnya dengan klakson berkali-kali. Tapi tubuhnya berat untuk berdiri, kepalanya pening jika matanya berniat bangun. Shafa tidur tidak tidur, sedapatnya saja sampai setidaknya 5 menit.

"Kan kata orang, jika kita tidak dibersamakan di dunia, Tuhan akan menyatukan kita di surga. Tapi... Tuhan kita aja beda. Jadi surga kita pasti jauh-jauhan. Kan, Shaf?"

Shafa membuka matanya dengan sekali hentakan. Pikirnya sudah jauh melayang, tapi masih sempat mengingatkannya akan perkataan Willy di malam kemarin. Shafa menggeliat dengan muka ditekuk parah. Willy sudah mengganggu tidurnya, menyebalkan sekali hidupnya.

Shafa menyandarkan badannya pada kursi, kepalanya mendongak memperlihatkan langit-langit dapur. Shafa berdecak ketika mengingat lagi ucapan Willy itu. "Dia bodoh beneran ya ternyata...." ucapnya hampir seperti gumaman.

"Shafa!"

"H-hai!" sahut Shafa secepatnya setelah sebelumnya sempat kaget. Dengan terburu langsung beranjak menuju Anisa yang barusan memanggilnya dari ruang tamu.

•••

      Shafa mendadak harus mengurangi kecepatan kakinya ketika mendapati seseorang yang duduk di sofa dekat Anisa duduk. Ekspresinya langsung berubah, tak dapat terbaca oleh Anisa ataupun Willy yang kini sama-sama tengah menatapnya. Willy sempat tersenyum kecil kepada Shafa, membuat letupan kecil seperti popcorn di dalam dadanya. Shafa tersipu dan membalasnya dengan sebuah senyum yang lebih manis. "Willy," ucapnya yang tidak bermakna apa-apa selain ingin mengatakannya. Willy tersenyum lagi.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang