Shafa melewati setiap keramik lantai sekolahnya dengan mimik yang tak menunjukkan perasaan apapun. Di sebelahnya ada Gea, dan tentunya adik kelasnya yang tadi meminta maaf padanya, Ardi. Tangannya memeluk buku Kimia yang ingin ia kembalikan ke Perpustakaan. Ia meminjamnya sebagai referensi tambahan. Perpustakaan sepertinya tak akan pernah kehilangan pengunjung setia ini sampai dia lulus nanti. Shafa tersenyum kecut, matanya sedikit berair melirik buku Kimia di dalam pelukannya, sebentar lagi ia akan lulus dari sini, tak ada lagi meminjam buku dari sini, tak ada lagi merapikan buku-buku disana bersama rekan pengurus lain. Benar-benar singkat hidup ini ternyata.
Shafa menghentikan langkahnya setibanya di depan perpustakaan. Ia memutar knop pintu perpustakaan dengan santai, namun tak berhasil terbuka, pintunya terkunci. Ini berarti ia sudah sangat telat keluar dari kelas.
Shafa membuka kotak pensilnya di dalam tas, untung ia selalu membawa kunci duplikat perpustakaan. Apa kata orang kalau si Ketua Pengurus Perpustakaan 3 periode berturut-turut tidak mengembalikan buku tepat waktu?
Shafa berjalan santai, pandangannya diedarkan.
"....Here" ucapnya setelah lama bergumam sendirian. Ia baru saja mencari rak berlabel Kimia. Shafa menempatkan buku itu dengan sangat apik. Ia juga sempat merapikan buku-buku lain yang sudah tidak karuan letaknya. Sampai suatu ketika, matanya menangkap pemandangan tidak sedap di atas sana, di rak yang paling atas.
"Ini pasti pada males buat rapihin," ucap Shafa. Ia tersenyum memaklumi kesibukan para rekannya yang lain.
Shafa mengedarkan pandangannya, mencoba mencari sesuatu yang dapat membuatnya bertambah tinggi untuk mencapai rak atas. Ia yang akan membersihkannya.
Shafa menggeser kursi yang terletak berbeda dari kursi lain, kursi ini lebih tinggi beberapa centi. Shafa menempatkan kursi itu dengan perkiraannya. Lalu mulai menaikinya dengan hati-hati.
"Hati-hati, Shafa!" ujar Gea dari bawah. Shafa menoleh untuk tersenyum sesaat. Ia mengacungkan ibu jarinya. "Kapan gue pernah gak hati-hati?" candanya. Gea menggeleng, sahabatnya ini tidak pernah bisa tidak membuatnya gemas.
Dengan sekali hentakan, buku-buku itu kini berpindah tempat. Ia memindahkannya terlebih dahulu. Shafa gemas sendiri melihat rak yang usang nan berdebu begini, ia pun membuka resleting tasnya dan mengambil tissue-nya yang tersisa.
Di sisi lain, seorang pemuda berseragam putih abu-abu menutup pintu mobilnya dengan kasar. Ia meninggalkan tas sekolah dan seorang teman wanitanya di dalam sana. Ia berjalan tidak indah memasuki gerbang SMAN 77 Jakarta, namun, berhenti sementara untuk menghormati petugas keamanan yang nampak 2 kali lipat lebih tua darinya.
"Ardi mana sih," ketusnya pelan. Tiada indahnya ia berjalan di koridor sekolah orang sambil mendengus sebal begini.
"Ardi!" Algy mencoba meneriaki nama adiknya, seseorang yang mendorongnya untuk menapaki kaki di sekolah ini.
"Ardi!" ulang Algy, kali ini lebih keras. Matanya berkeliaran mencari-cari sosok yang mirip dengannya itu.
Oh? siapa yang gue lihat ini..?
Algy menghentikan langkahnya tepat di depan perpustakaan. Ia menyenderkan sebagian tubuhnya pada pintu kaca perpustakaan. Matanya terpaku pada seorang gadis yang terlihat sangat tekun membersihkan sesuatu di rak tinggi. Algy mengenal lekuk tubuh itu, rambut hitam pekat sepekat langit tanpa sinar rembulan diikat satu, simple girl, kaki jenjang putih bersih, Algy tersenyum, gadis itu masih memakai sepatu pemberian nya.
"Nahh! Kalo begini kan enak diliatnya!" pekik salah seorang di antara mereka. Itu Ardi. Pekikannya itu langsung saja disambut tawa oleh Gea dan Shafa.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.