9: Calling

145 13 2
                                    

Guys aku minta maaf ya kalo banyak yang typo

•••

Sepeninggalan Shafa dari kamarnya, Gea langsung berteriak kecil, semacam sedang mengaba-ngabakan seseorang di suatu tempat yang tak terjangkau oleh mata.

Ya, selang beberapa detik dari teriakan tersebut, orang yang merasa terpancing itu pun segera membuka pintu toilet kamar Gea dan lari terbirit menghampiri Gea. Pemuda itu menyentuh pundak Gea, nafasnya memburu cepat.

"Engap banget di toilet asal lo tau," ujar pemuda itu terbata-bata di sela nafasnya yang masih memburu. Badannya membungkuk dengan kedua tangan yang menumpu pada lutut.

Gea memutar bola matanya sekaligus mencibir. "Yaelah cuma setengah jam" timpalnya sinis. Lalu tertawa setelah beberapa detik.

Pemuda itu duduk bersila di atas karpet, kepalanya mendongak untuk menatap Gea yang tengah berdiri sembari melipat tangannya. "Tadi dia nangis kenapa?" tanya pemuda itu sarkastik. Gea menatapnya.

"Engh..." gumam Gea menggantung. Pandangannya dipalingkan ke sembarang tempat.

"Tadi dia nangis kenapa G?" tanya (lagi) pemuda tampan yang ternyata bernama August William ini. Nadanya sarat akan keingintahuan yang dalam. Ditambah sedikit kekhawatiran mungkin. Ah, bahkan tidak sedikit. William sangat mengkhawatirkan keadaan Shafa.

Gea terdiam sesaat, lalu kembali menatap William di bawah, tatapannya itu seakan bicara; gue nyerah, gue bakal ceritain.

Gea mengubah posisinya, ia duduk di samping William dengan mata yang masih berkeliaran, bukan malah menatap William yang sudah hampir sekarat menunggu jawaban dari nya.

"G, please"

Huft, Gea menundukkan pandangannya sebentar dan menghembus nafas asal. Lalu kembali menegakkan pandangannya untuk menatap mata William. Hatinya sedikit menggerutu, ia hampir saja mengutuk sepupunya yang satu ini.

Dasar penggemar kepo.

"Dia galau ngeliat Algy sama Angel di cafe, mereka berdua pacaran. Lo pasti kenal sama Angel, kelas lo kan sebelahan sama dia." ungkap Gea, akhirnya. Dia sedikit menyesal telah menyelesaikan kalimat barusan. Ia tahu betul sosok William, William sangat menyukai Shafa sejak kelas 10. Gea sangat takut hati pemuda itu kan terluka begitu mengetahuinya; bahwa gadis yang diharapkannya masih mengharapkan seseorang di masa lalu-nya.

William tersenyum, "Gue minta nomor Shafa ya? please"

"Oh you Willy, jangan deketin Shafa lebih dari say hello. Lo gak boleh jatuh cinta sama dia, kita beda keyakinan sama dia."

William tersenyum, iya.. dipaksa-paksakan tersenyum, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dan Shafa berbeda. Berbeda keyakinan.

William akhirnya mengangguk atas nasihat Gea yang sudah kesekian kali mengingatkan hal tersebut. "Gue ngerti. Gue mau dengar suara dia, dia itu idola gue banget asal lo tau" lanjutnya.

Gea menggumam, jari telunjuknya diketuk-ketukkan ke dagu, terlihat seperti sedang berpikir. William gemas melihat nya.

"Okay!" Gea tersenyum sangat manis. Lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Gea tak langsung memberikannya, ia kini menyipitkan matanya menatap William lurus-lurus.

"Lo gak boleh jadi lebih dari seorang penggemar Shafa, janji?" tanya Gea sembari mengangkat benda pintar tersebut setinggi panjang tangannya.

Kini, sebuah senyuman bahagia terlukis indah di wajah William, pemuda itu mengangguk, lalu sedikit menarik badannya ke atas dan langsung merampas ponsel yang berada dalam genggaman Gea.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang