Gea membenarkan posisi duduknya terhadap Shafa. Ia kini duduk bersimpuh menghadap Shafa. Kedua tangannya memegang pundak Shafa selembut mungkin, berusaha agar Shafa tak merasa terbebani.
"Feel better now?" tanya Gea pada Shafa. Ia tersenyum di akhir kalimat. Suaranya lembut selembut sutera.
Shafa tak menjawab, pandangannya kosong.
"Shafa..." ucap Gea sekali lagi. Senyumnya selalu mengiringi setiap hela dan hembusan nafasnya. Tangan kanannya dengan lembut mengusap pipi Shafa yang duduk berhadapan dengan dirinya.
"Shaf lo gak boleh kayak gini terus! Dia udah nyakitin lo, Shaf! Ngapain lo buang-buang air mata lo buat buaya kayak dia? Lo genius tapi lo udah dibegoin sama-"
"Kalo gue cinta, gak ada yang bisa halangi gue. Apalagi hentiin gue."
Gea tertegun. Ia mengangkat wajahnya untuk memandang Shafa lekat-lekat, mata gadis itu terlihat kosong, seolah tak ada dirinya disana. Hujan dari mata Shafa juga sudah tak terlihat lagi sekarang. Tetesan-tetesan itu pun sudah mengering membekaskan noda bening mirip sungai. Gea mau tak mau harus mengalah, memang benar yang Shafa katakan.
"Ya tapi lo udah bukan siapa-siapa, Shaf! Dia udah gak mau dicintai sama lo!" ketus Gea. Sebenarnya ia tidak tega mengatakan ini, tapi daripada Shafa terus menangisi buaya macam Algy?
Shafa menoleh, akhirnya. Ia menatap Gea dengan matanya yang memancarkan keteduhan itu. "With all of my sincere heart and soul.." ucap Shafa dua ribu kali lebih lembut. Senyumnya meneduhkan Gea yang sempat gemas akan dirinya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.