5: Trying

253 14 8
                                    

"It's hard to move from someone you don't want to be forgotten"

•••

      Shafa baru saja selesai membersihkan tubuhnya. Suhu tubuhnya diperkirakan turun beberapa derajat, sampai-sampai Shafa membuat gembungan pada kedua pipinya. Ia merasa lebih baik sekarang. Setidaknya untuk fisiknya. Lain cerita dengan hati dan pikirannya.

Shafa berjalan menuju cermin untuk mengambil sisir. Sambil merapikan rambutnya, Shafa terus memperhatikan bayangan dirinya yang terpantul pada cermin di hadapan. Berlama-lama disana hingga ia mendapatkan wajah menyedihkannya yang utuh. Shafa melogika lagi, memikirkan dimana letak kesalahannya hingga harus berada di situasi seperti ini. Situasi yang bagaimana, entahlah, intinya ia tidak suka dengan posisinya sekarang.

Hanya belum bisa terima. Sosok yang pernah berjanji tak kan pergi, kini pergi, dan memberi aba-aba untuk pergi.

Seratus persen benar jika ada yang berpikir bahwa tak mudah untuk menjadi Shafa. Bukan maksud yang bagaimana, semua orang di dunia punya peran yang tak mungkin dapat digantikan orang lain. Tapi disini, konteks yang Shafa alami, sangat jauh dari kata pantas. Sebagai orang yang pernah dicintai dan diagung-agungkan, tentu saja menerima semua itu tidak sama sekali menyenangkan. Jangankan menyenangkan, bisa bertingkah seolah tidak peduli pun niscaya sudah merupakan hal yang sangat hebat. Kali ini Shafa harus memaksa perasaannya untuk berhenti mengikuti naluri, hatinya itu berbisik tiap malam, Kau harus tetap mencintainya, Shafa, begitu.

Shafa sudah mencoba untuk tidak mencinta, pada Algy. Ia selalu hampir berhasil menuntaskannya. Baru hampir, tak pernah sampai benar-benar berhasil. Mengapa demikian? Ya memang sukar bagi orang lain yang tidak merasakannya untuk memahami Shafa. Namun sungguh nyata, Shafa tidak bisa berhenti menyayanginya, mendoakannya. Sekalipun Shafa sudah pergi dari kehidupan Algy. Mengikuti alur permainan Algy.

Shafa membanding-bandingkan Algy yang dulu dengan yang sekarang. Shafa menitikkan air matanya lagi, semuanya sudah sangat berbeda. Sangat-sangat berbeda. Shafa teringat, Algy pernah menangisi dirinya saat ia jatuh sakit, Algy pernah menggila-gilai dirinya sampai Shafa hampir membawanya ke rumah sakit jiwa, Algy pernah sangat cerewet meminta izin pada Shafa agar ia boleh segera menikahinya, lalu mereka hidup bahagia. Begitu indah itu semua terjadi. Semuanya masih terekam sangat jelas di memori Shafa. Shafa tersenyum miris mengingat itu semua, air matanya terus saja mengalir.

Shafa tidak menyeka air matanya. Ia membiarkan semuanya turun, dengan harapan besok-besok ia tak akan menangisi Algy lagi. Ia membiarkan air mata itu mengering dengan sendirinya, lalu ditimpali kembali dengan air mata yang lain, dengan penyebab yang sama.

"Lah lo siapa gue?"

Tidak ... Ini sangat menyakitkan. Shafa menangis sesenggukan mengingatnya. Bahkan kali ini dengan erangan-erangan kecil. Rasanya sakit menerima kalimat semacam itu, apalagi dari mulut Algy, laki-laki yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, atau mungkin masih hingga saat ini. Lelaki yang bersama dirinya pernah membuat orang lain iri pada hubungan mereka. Lelaki yang pernah menganggapnya lebih bersinar dibanding seribu permata.

Algy kan selalu menjadi bagian di hidupnya. Ruang Algy istimewa di hatinya.

•••

      "Lo harus mulai ikhlasin Shafa, Al. Dia udah bukan masanya lagi jadi milik lo. Lo yang ngelepas dia. Jangan jadi penjilat."

Ste balik dari dapur rumah Algy dengan tiga mangkuk mie instan. Dia belum pulang dari tadi siang. Entah apa yang membuatnya betah. Hm, pasti ada yang bertanya, kemana orang ini saat a little dispute itu berlangsung?

Sebenarnya Ste ada di antara mereka. Dia memperhatikan keduanya dari toilet. Dia ingin berjaga-jaga tanpa ingin terlibat. Ste sendiri bingung harus mendukung siapa. Menurutnya, Ardi tidak salah. Shafa bukan milik siapapun kecuali keluarga dan Tuhannya. Jadi Ardi sah-sah saja mendekati Shafa. Tapi Ste juga memaklumi Algy, sahabatnya yang sudah sangat ia ketahui betul sampai ke hal sekecil atom pun, Algy orang yang egois, ia selalu ingin menang dalam keadaan apapun.

"Lo punya pacar. Lo bukan jomblo lagi. Kalau tahu lo masih sayang yang lama, jangan coba-coba buat komitmen sama cewek lain."

...Lamunan Algy buyar. Sebab perkataan Ste barusan. Ia ingin protes, ia sudah tidak ada perasaan apapun dengan gadis itu, ia yakin seyakin yakinnya orang yakin.

"Yaelah, Ste. Gue sayang Angel. Gue gak sayang sama Shafa. Gue cuma-"

"Cemburu sama adik sendiri? sama aja."

Algy terkekeh hebat. "I don't and I won't!" tegasnya mantap.

I'll try. Lanjutnya dalam hati.

•••

      Shafa turun dari motor ibunya dengan selamat. Ia menyempatkan beberapa detik untuk mencium punggung tangan Anisa dengan hikmat. Selang satu atau dua detik, Shafa segera berlari memasuki gerbang sekolah. Hari ini ia bangun agak telat. Ia melirik jam besar yang menggantung di atas, di gedung utama sekolahnya, ia masih punya 10 menit lagi sampai menuju jam pelajaran dimulai. Melihat kondisi yang demikian Shafa pun terdorong untuk menambah kecepatan larinya.

Hari ini banyak yang menyapa Shafa di koridor. Shafa benci situasi seperti ini. Sebenarnya tidak masalah, tapi jangan saat dirinya tengah mengejar waktu menuju kelas. Shafa sibuk membalas sapaan itu dengan senyum manis. Beberapa orang beruntung bahkan dapat lambaian tangan darinya. Lihat, betapa baiknya gadis ini.

"Pagi, Barbie."

Shafa terdiam mendengar bisikan halus itu. Ia mendengar itu dari seseorang yang sudah melewatinya. Orang itu berbicara di samping telinganya. Shafa tidak menoleh, tanpa perlu melihat, Shafa sangat yakin itu Ardi. Siapa lagi yang menciptakan panggilan itu selain Ardi?

Shafa tak sadar. Sejak kemarin, ia tak bisa menahan senyumannya karena Ardi.

•••

      Algy menghentikan mobilnya di belakang sebuah motor bebek berwarna merah. Di atas motor itu ada dua orang manusia, keduanya berjenis kelamin perempuan. Salah satunya adalah seorang gadis memakai seragam SMA, ia turun dari motor itu beberapa saat kemudian.

Algy yakin sekali. Itu Shafa dan ibunya. Ia mengenal lekuk-lekuk yang ada pada rupa mereka.

Lo gak boleh peduli, Al. Lo milik Angel sekarang. Ayo, Al. Batinnya. Matanya terpejam.

"Hati-hati." ucap Ardi sebelum pergi. Ia masih sempat mengatakan itu pada Algy yang sudah menyebabkan kesan biru pada pipinya. Algy tersenyum kecut, ia cukup merasa bodoh telah melakukan tinjuan kemarin.

Ardi berjalan jauh di belakang Shafa. Ia sudah berusaha mengejar Shafa, tapi Shafa sangat cepat. Ia hanya melihat Shafa dari kejauhan, gadis itu terlihat sangat bersinar walau sudah telat seperti itu, ia melambaikan tangannya pada siapa saja yang menyapa. Sangat manis. Sisi yang paling manis dari seorang Shafa.

Namun tak lama Ardi menganga. Seorang siswa dengan tubuh jangkung menundukkan sedikit kepalanya mendekati pipi Shafa. Ardi spontan menunduk, ia tidak ingin lihat kelanjutannya.

"Gue kurang cepet apa?" gumamnya.

•••

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang