41: Again(st)

64 9 1
                                    

"Alhamdulillaah.. Kelar juga..." ucap Shafa begitu berhasil merebahkan tubuhnya pada tempat tidur. Hawa sejuk yang diberikan sprei kasur pada kulitnya membuat mata Shafa sayup-sayup ingin terpejam. Shafa mengambil oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya dengan perasaan gembira. Shafa tidak ingin tidur terlalu cepat, meskipun matanya sudah mengajak istirahat sejak belajar tadi. Shafa kalah lagi dengan tipuan angin malam yang masuk lewat jendela kamarnya, dia berhasil membujuk Shafa agar dapat terjaga lebih lama. Shafa membuka matanya tiba-tiba, memperlihatkan langit-langit kamarnya yang ditambahi sinar putih dari sebuah benda bening dari beling. Shafa pelan-pelan bangkit dari tidurnya, lalu duduk sambil terus memandang ke atas. Lampu kamarnya berkedip-kedip.

Shafa secepatnya berdiri dan meraih saklar di dekat jendela. Lampu itu tiba-tiba menyala sangat terang menyakiti matanya, sangat terang hingga Shafa punya pikiran kalau lampu itu akan meledak dan mengenai kulitnya. Shafa mengatur pernapasannya, jantungnya berdebar-debar.

Gelap. Seluruh penjuru kamarnya tak mendapat bantuan cahaya apapun selain dari bulan. Shafa berjalan gontai membuka pintu kamarnya. Hanya dibuka, Shafa celingukan di ambang pintu kamarnya. "Gudang jam segini gelap ya?" gumam Shafa. Bertanya pada dirinya sendiri.

"Eh, Yuka!" ujar Shafa. Yuka berhenti berloncat-loncat seperti tadi, lalu menoleh menatap sang Kakak yang tengah berdiri sambil memeluk kusen kamarnya.

"Iya?" sahut Yuka dengan suaranya yang manis dan sedikit cempreng. "Kakak manggil?" lanjutnya. Shafa mengangguk cepat.

"Ibu sama Gibran kemana?" tanya Shafa setengah berbisik.

"Ibu kagi kelonin Gibran!" sahutnya dengan suara keras. Shafa tersenyum kecut dan memandangnya datar. Jari telunjuknya ditempelkan ke bibir seraya melirik tajam kamar Anisa. Itu sebuah isyarat bagi Yuka yang cantik tapi kurang bisa lihat kondisi.

"Eh, gudang dikunci nggak?" tanya Shafa luar biasa pelan. Yuka mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Mana Yuka tau!" ujarnya dan langsung berlalu begitu saja. Melanjutkan jalan sambil lompat-lompatnya yang sempat dihentikan Shafa. Shafa mengurucutkan bibirnya kecewa.

Shafa masuk lagi ke kamarnya dengan penuh kekecewaan. Shafa membiarkan pintu itu terbuka, agar ada sedikit bantuan cahaya dari ruang sebelah. Shafa duduk bersimpuh di samping ranjang tidurnya. Terdiam, memandangi kardus yang berjejalan buku-buku lamanya. Shafa ingin melempar kardus itu sesegera mungkin, Shafa sudah sangat malas menampung kotak itu di kamarnya. Kotak itu tidak tahu cara berterimakasih, diberi tempat enak dan bersih malah berkhianat. Malah memberikannya sebuah buku yang menjebak, melimpahkan pengalaman buruk kepadanya. Shafa gemas dan membuka kardus itu lagi dengan bibir yang tersungging. Shafa mengeluarkan semua isi kardus itu dengan gragas.

Shafa kini berhenti bertingkah bagai macan, gerakannya menjadi diperlamban ketika tangannya berhasil memegang sebuah buku kecil dan tidak terlalu tebal yang sangat ia kenali. Jika dilihat dari covernya, buku ini menampilkan gambar manga beberapa remaja tampan berpakaian basket. Di seragam mereka terdapat tulisan 'SEIRIN' yang merupakan nama club basket kenamaan dari tokoh di komik itu sendiri. Shafa menyekap buku itu di dadanya, kepalanya mendongak, berupaya agar air matanya tidak menetes di atas buku itu. Dadanya seperti masuk ke dalam mesin penggiling saat ini.

"Algy....." desisnya, entah ini sadar atau tidak. Yang jelas dan yang paling Shafa tidak mengerti, Algy tidak pernah hilang dari ingatannya. Membuat hatinya tergoyah dan lagi-lagi hampir mencintainya. Hampir mengaku bahwa ia masih mencintai pria itu lebih tepatnya. Shafa mencium buku itu dengan segala kehancuran di hatinya. Itu pemberian Algy, banyak cerita dibalik pemberiannya.

"Algyy..." lirih Shafa lagi. Shafa tak bisa terus begitu, Shafa akhirnya menunduk dan membiarkan airmata itu turun semau mereka. Nafasnya tersenggal-senggal. Shafa masih menciumnya, malah dirasa-rasa hingga ia bisa merasakan kehadiran Algy di sisinya. Shafa mencintai segala yang diberikan Algy padanya, walau sekeras apapun usahanya untuk menjauh, tapi benda itu ada padanya, benda itu tertuju untuknya. Untuknya yang tercinta. Yang disimpan Algy di hatinya hingga detik ini, tapi tak bisa bersama. Rasanya perih mengingat semuanya, cara pertemuan mereka yang terbilang lucu, bagaimana cara Algy menyampaikan perasaannya pada Shafa, bagaimana tersipunya Shafa saat menerima Algy, lalu semuanya yang berakhir pada api cinta yang sulit padam ini. Algy sempat memberikannya kehidupan yang indah, sebelum kepergiannya sekarang.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang