19: Hypocrisy

97 12 0
                                        

      Huh, entah mengapa, Shafa kini termakan sendiri dengan omongannya. Shafa tiba-tiba saja mengantuk, matanya mulai berair.

Shafa mengerjapkan matanya berkali-kali. Dilihat nya kini Elma sudah tak ada bersama nya. Dia tidak boleh mengantuk jam segini, setidaknya di rumah ini. Tidak boleh. Shafa tidak akan pernah mengizinkan hal ini terjadi.

Shafa membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Ia sampai menguap, kepalanya terasa sedikit berat sekarang. Membuat pikiran Shafa sedikit melayang-layang, batinnya bersangka yang tidak-tidak pada keluarganya Algy.

Jangan-jangan mereka ngeracunin gue. Shafa tak henti membatin.

"Shaf?" lirih Ardi. Shafa terkejut. "Eh ya?"

"Lo mau shalat isya dulu apa mau langsung pulang?" tanya Ardi. Shafa menggumam sebentar. "Shalat isya dulu deh gue. Biar selamet di jalan, kali juga ngantuk gue bisa hilang kan?"

Ardi tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Shafa. "Perfect girl i'd ever found" ucapnya. Matanya memandang Shafa lekat-lekat. Kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulut Ardi. Kalimat yang ia pendam sejak pertama melihat Shafa.

Shafa mengangkat wajahnya; mencoba menatap Ardi yang sedikit lebih tinggi dari nya. Shafa kurang mengerti, mengapa Ardi sangat mengaguminya. Ini sama seperti Algy dulu, Shafa memejamkan matanya menyadari itu.

Ardi tersadar dari kelakuan semena-menanya tersebut. "Sorry" ucapnya. Terdengar seperti penyesalan, malu telah melakukan hal semacam itu. Tangannya kembali ke posisi awal.

Shafa tersenyum sedapatnya.

•••

      Shafa membungkam lagi mulutnya. Setelah air wudhu itu membasuh wajahnya, kantuk itu pergi. Namun kembali lagi. Untung Shafa sudah selesai melaksanakan kewajibannya sebagai umat agama Islam.

Elma datang menghampiri Shafa. Ia membawa kotak kecil berwarna perak. Shafa masih mampu melihat itu jelas.

"Buat kamu ya, Shafa." ucap Elma. Tersenyum amat manis. Tangannya menjulur memberikan kotak kecil berwarna perak tersebut. Shafa menyipit, tangannya mengambil kotak kecil itu dari tangan Elma. "Apa ini, Bu?" tanyanya. Kantuk ini membuat pandangan Shafa sedikit kabur.

Elma lagi-lagi tersenyum pada Shafa. "Buat calon menantu saya yang paling baik." katanya. Shafa berjengit dalam hati, kenapa semua memperlakukan gue layaknya gue belum putus sama Algy?

Shafa tidak bisa untuk tidak tersenyum. "Terimakasih, Bu.." ucap Shafa. Nadanya sarat akan kebahagiaan. Elma mengangguk terus tersenyum, senyumnya ikhlas, Shafa melihat itu. Shafa menunduk mengamati setiap ukiran pada kotak kecil berwarna perak itu.

"Algyyy! Algyyy! Sini nakkk!"

Apalagi nih. Mati gue. Batin Shafa. Masih menunduk.

"I'm here, Mom.."

Oh, apalagi ini?

Shafa mengangkat wajahnya lesu begitu mendapati sebuah kaki yang ia kenal tengah berdiri di dekat mereka. Yup, he is Algy.

Hello, Al. How's life?

Shafa mendesah pelan, ia tidak mungkin mengucapkan kalimat itu. Ia tidak boleh mengucapkan apapun pada Algy. Ada dua alasan. Satu, karena ia sedaritadi ada disini, maka tidak mungkin bertanya kalimat semacam itu. Kedua, karena Shafa pernah bertekad untuk tidak ingin menyapa atau sekedar melempar senyuman pada Algy. Shafa serius dengan janjinya, Shafa mengikuti alur permainan Algy dengan sungguh-sungguh.

Algy tersenyum, sepertinya untuk Shafa. Oh, sungguh, entah mengapa kini darah di sekujur tubuh Shafa serasa berdesir cepat. Tubuh Shafa membeku, jadi ... kapan gue bisa pulang? dan berhenti bersandiwara? Batin Shafa.

Shafa tersenyum, paksa.

"Antar Shafa pulang, ya nak?"

......tuh,kan.

Shafa membulatkan matanya menatap Algy. Ia ingin menghipnotis Algy rasanya, namun sayang ia tidak punya ilmu seperti itu. Algy harus menggeleng. Harus.

Algy terkekeh cukup hebat, lalu tersenyum simpul. Kepalanya dianggukkan. Bisa dibayangkan, seterkejut apa Shafa saat ini.

"Shafa tapi mau-"

"Let's go!" ujar Algy. Shafa meringis melirik sela jemarinya yang sudah terisi full oleh jemari Algy. Rasanya aneh menerima perlakuan seperti ini dari Algy, terutama setelah semua yang Shafa terima berhasil mencabik habis hatinya. Algy's badness.

Algy berjalan cepat menarik Shafa. Shafa bahkan tidak diberi waktu oleh Algy untuk menyalimi tangan Elma.

Shafa tidak tahu, Algy sendiri kini sedang merutuki kebodohannya di dalam hati. Ia menyesal telah menciptakan kecanggungan ini. Permainannya telah membuat lingkar penyesalan yang mengepung dirinya.

Shafa gemas bukan main. Entah apa yang mendorong Algy menjadi aktor sehebat ini. Shafa tak bisa lagi, ia harus marah. Ini sudah kelewat buruk.

"Udah ya, Al, aktingnya!" sergah Shafa. Gadis ini memberontak, genggaman tangan itu terlepas alhasil. Mereka sudah sampai di garasi. Lebih tepatnya di pintu sisi kanan mobil Algy.

Algy mengalihkan pandangannya. Ia menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Shafa tak pernah semarah ini padanya, sebelumnya. Terakhir kali dirinya memaki Shafa pun, Shafa tak melawan, Shafa hanya diam menerima seluruh hujatan yang ditimpalkan Algy padanya. Lalu menangis tanpa suara di akhir. Tidak seperti sekarang. Apa benar Shafa sudah tidak mencintainya?

Algy menunduk lesu. Ia ingin Shafa tetap cinta padanya. Namun, bagaimana lagi? ia sudah terlanjur menciptakan sebuah permainan. Dia sendiri yang membuat gadis itu lengah mencintainya. Dan dengan sendirinya mereka hidup sebagai Algy-Shafa yang masing-masing, tidak ada lagi kata kita atau kami di antara mereka.

Algy sadar, apa yang ia lakukan ini tak lebih hanyalah sebuah kemunafikan belaka. His worst.

Kebodohannya. Segalanya.
Menghancurkannya.

"Ortu lo tau gak sih kalo di antara kita udah gak ada apa-apa?" Shafa meledak akhirnya. Ia sudah berusaha menahan-nahan dirinya, ia sudah berusaha untuk tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Algy. Algy tidak mengerti usahanya itu.

Algy mengangkat wajahnya, tatapannya kosong. "Belum. Gue gak bilang kalo kita udahan."

.....jadi?

Shafa bertaut dahi. Tidak mengerti dengan jalan fikiran orang ini. Mengapa ia harus merahasiakan? Sampai Shafa harus ikut bersandiwara di hadapan orang tua Algy? Shafa ingin menangis, tidak sepantasnya ia melakukan ini. Meski ia masih berharap keduanya kelak kan menjadi mertuanya. T-tapi .. logika saja.

Bukankah dulu Algy yang memutuskan hubungan mereka? Lalu diteruskan hingga mereka seperti tak memiliki tali persaudaraan? Bahkan tali pertemanan sekalipun? Bukankah Algy juga yang bilang dia tidak mengenal Shafa? Bukankah Algy juga yang mengusir Shafa untuk enyah dari kehidupannya? BUKANKAH BEGITU? BUKANKAH BEGITU, ALGY?

"LO ITU UDAH DEWASA! TAPI GAK ADA OTAKNYA!"

Shafa ingat kembali kalimat itu, kalimat yang berhasil menciptakan patahan pada hatinya. Algy sendiri yang mengatakan itu. Ya, dia sendiri. Mata Shafa terpejam, semua itu berbalik pada Algy. Shafa mulai mengira orang ini tak ada akal lagi.

Tidak. Shafa berusaha untuk tidak sepenuhnya menyalahkan Algy.

Kau harus tetap mencintainya, Shafa.

Shafa terpejam. Hatinya mulai berbisik lagi. Shafa menahan dirinya untuk berteriak, ia tidak ingin lagi dianggap gadis lemah oleh Algy. Shafa ingin Algy beranggapan bahwa dirinya bisa bahagia tanpa Algy, bahwa paginya tetap indah tanpa selamat pagi-nya, bahwa tidurnya tetap nyenyak tanpa selamat malam-nya, bahwa Algy bukan satu-satunya alasan Shafa bahagia.

Shafa kini merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Lalu mencari kontak Willy di buku telepon. Detik selanjutnya, Shafa mulai mendekatkan ponsel itu di telinga. "Will, bisa jemput gak?" ucap Shafa, suaranya parau.

Algy tersentak.

Willy ... siapa?

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang