39: Afraid

95 12 2
                                    

"Gak usah, Shafa. Gue di rumah juga punya minum. Minuman gue lebih enak dari minuman lo. Lo kan taunya minuman cuma teh, teh ijo, tehhh semua!" ujar Gea.

Shafa melengos. "Gak mau minum yaudah," tegasnya dingin dan langsung terduduk di tepi tempat tidur, mengabaikan Gea yang masih berdiri hingga detik ini. Shafa menunduk dengan kedua tangan menumpu pada dipan. Rambutnya ikut ke depan menyamarkan paras anggunnya.

"Gosh!" Gea menganga. "Shafa lo liat? Gue bakal mati bentar lagi! Serius!" serunya berlebihan. Berlagak seolah dirinya memang sedang dalam bahaya.

Shafa masih tetap diam dengan posisinya. Kebiasaan, Gea suka berlebihan sampai Shafa ingin menggigitnya. Shafa mencengkram sprei kasurnya erat-erat. Shafa sangat ingin mengangkat wajahnya dan segera terbahak sekeras mungkin, tapi bukan sekarang. Shafa ingin Gea sadar dulu bahwa ucapannya terlalu menyinggung.

"Shafa! Shafa liat! Gue dicekek hantu bernama Willy!"

"Shafa tolong! Oh my- uwek!"

"Shafa gue mati nih! Shafa gue dicekek! Uhuk, uhuk!" Gea bahkan membuat batuk buatan di ujung kalimatnya.

Shafa tak bisa lagi. Gea memang paling-paling. Shafa tertawa geli, spontan mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Gea. "Lo mati mati aja! Gak usah bikin gue ketawa, ah!" sergah Shafa sambil terus menggebuk Gea dengan gulingnya.

Gea cekikikan seraya meminta ampun. Gea menyerah dan menarik guling itu dari Shafa. Shafa kelihatan sudah lemas sekarang.

Gea tersenyum puas. "Orang baper diobatinnya pake bercanda. Apa aku benar, Shafa?" tanya Gea dengan PeDe-nya.

Shafa mengangguk. "Iya aja lah," jawabnya, masih tertawa sedikit-sedikit.

Gea duduk menyila di depannya. Gea tampak berpikir-pikir.

"Kalo lo jadi dokter nanti.. gue harap kebiasaan suka ketawa lo ilang, Shaf."

"Hm? Kenapa?"

"Ya gue gak ngebayangin aja kalo lagi tugas lo ketawa-ketawa liat muka pasien."

Shafa tersenyum, lalu menghela nafas segar dan membuangnya disertai tundukan kepala. "Gue gak akan jadi dokter juga sih," ucapnya tiba-tiba. Suaranya lirih karena kini tenggoroknya tercekat-cekat. Shafa memainkan kuku jarinya yang mulai gemetar.

Gea sontak mendekat. "Hah? Why?" tanyanya spontan.

Shafa batuk. Spontan Willy yang tengah melihat ke arah luar jendela langsung menatapnya.

"Tabungan gue selama 5 tahun ini ludes. Gue gak bisa kuliah tanpa itu, gue gak akan jadi dokter.. Cita-cita gue gak akan tercapai."

"...." Gea dan Willy memilih tetap membungkam mulut. Sebenarnya Willy ingin menyela, tapi Gea sudah melotot hingga Willy jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya. Gea yakin Shafa tidak butuh pertanyaan apapun saat ini. Shafa pasti akan cerita jika sudah waktunya, pasti.

•••

      Shafa naik angkot dari rumah demi menuju sekolahnya. Motor ibunya sedang berada di bengkel, ibunya bilang motor itu akan dijualnya setelah selesai dicek kelayakannya dan diperbaiki. Untuk apa lagi, hutang ayahnya yang tidak bertanggung jawab membuat Anisa dan anak-anaknya tak punya pilihan lain. Shafa turun dari angkot tepat di depan gerbang sekolahnya, tak lupa memberikan selembar uang dua ribu rupiah dan selembar uang seribu rupiah dari saku baju. Shafa tersenyum setelahnya. Lalu menggeleng setelah berbalik badan. Supir angkot itu mengambil kesempatan untuk mengelus tangannya saat menerima uang tadi.

Shafa berjalan santai, tak tanggung-tanggung langsung melupakannya. Kejadian semacam itu sudah sering diterimanya. Shafa menoleh ke sisi kanannya untuk sekedar memberi senyum semangat pada satpam sekolah. Dan murid-murid lain yang suka menyapanya, bahkan ada yang bersiul-siul mirip burung di pohon dekat jendela kamarnya. Shafa tersenyum pada semuanya, meski kadang ia harus tertawa diam-diam menerima sikap murid disini.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang