4: A Little Dispute

202 15 9
                                    

•••

      Ardi baru saja sampai di rumah. Tentunya setelah perjalanan pulang yang menyenangkan hatinya tersebut. Satu mobil dengan Shafa itu sangat membahagiakan. Di waktu itu, ia bisa dengan bebas melihat wajah Shafa dari jarak yang sangat dekat. Apalagi tadi mereka duduk bersebrangan. Meski Shafa tidak pernah melihat ke arahnya. Walaupun juga ia harus turun sebelum Shafa turun karena ia harus menyambung ke angkutan lain. Sebelumnya ia sempat bertanya pada Shafa ia harus naik apa. Untung Shafa tahu.

Ardi bersyukur, Shafa pasti tak tahu kalau dirinya hampir terhipnotis oleh kecantikannya.

Ardi berhenti tersenyum-senyum seperti itu. Cukup saja sebelum ada yang mengiranya menjadi orang gila. Lagipula, ada yang berpendapat bahwa kita tidak boleh terlalu bahagia. Karena konon katanya orang yang terlalu bahagia akan merasakan sakit yang bertubi tak lama kemudian. Begitulah. Ardi masih percaya hal-hal yang semacam itu. Ibunya yang bilang, ia harus percaya pada ibunya sendiri.

Ardi memegang knop pintu dan memutarnya dengan sekali hentakan. Pandangannya reflek turun saat sedang melepas sepatu talinya yang masih melindungi kaki Ardi dengan baik.

'Bugh!'

Ardi terkejut bukan main. Ardi jatuh tersungkur di depan pintu kamarnya, kamarnya dengan Algy. Ardi mendesah pelan, setetes darah segar mengalir dari salah satu sudut bibirnya. Baru saja, suatu kepalan tangan yang amat kuat meninju pipinya.

Ardi mendongakkan kepalanya. Matanya berusaha mengenali wajah seseorang yang berdiri di hadapannya. Tangan orang itu mengepal kuat. Ia masih mampu melihat itu.

"Bangun lo! Lo itu adik macam apa!" ujar orang itu dengan emosi tak tertahankan. Siapa lagi Abangnya Ardi jika bukan Algy.

Ardi menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. Ia masih berusaha untuk bangun. Pukulan itu amat kuat. Ardi hampir lumpuh dibuatnya.

Ardi berhasil berdiri. Ia menatap tajam ke mata Algy. "Lo kakak macam apa? Adik pulang sekolah diajak ribut?" tanya Ardi santai. Itu benar, Ardi masih berusaha terlihat santai kepada Algy. Meskipun rasanya sangat sakit, Ardi tidak ingin melawan sedikitpun. Biarlah, Algy sedang dalam tekanan, begitu pikir Ardi si calon psikolog tampan di masa depan.

Ardi masuk meninggalkan Algy yang masih mematung di ambang pintu. "Seenggaknya gue lebih dewasa daripada lo." lanjut Ardi. Mendengar itu, darah di kepala Algy serasa mendidih.

•••

     "Shafa pulang!" ujar gadis cantik ini begitu sampai di dapur. Maksudnya agar si Ibu mendekatinya seperti biasa. Namun tidak, Shafa sendirian kali ini, tidak ada seorangpun anggota keluarganya yang menyahuti, apalagi menghampiri.

Mereka tidur. Pikirnya.

Shafa berjalan menuju lemari pendingin. Lalu mengambil sebotol air dingin tanpa menuangkannya ke sebuah cangkir, kemudian meneguk habis semuanya dalam sekali tegukan. Shafa jadi tertawa geli sendiri.

Ardi gak tahu aja, gue gak ada mirip-miripnya sama barbie. Pikirnya sembari cekikikan.

Shafa jadi tersipu malu begitu mengingat kejadian di angkutan umum tadi; saat dirinya memergoki Ardi yang tengah tersenyum menatapnya, dengan tangan yang menopang dagu. Shafa tertawa geli. Itu terlihat seolah dirinya sudah menghipnotis Ardi.

•••

      "Lo ngapain deketin Shafa?! Lo kan tau kalo gue-"

Ardi tertawa terbahak-bahak mendengar Algy. Algy meledak-ledak tidak jelas. Menurutnya.

"Kalo lo siapanya?" tanya Ardi tak hentinya terbahak. Pertanyaannya itu mengundang kemarahan pada diri Algy. Algy menggertakan giginya kuat-kuat, Ardi benar-benar tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Algy mulai mencari akal bagaimana caranya agar bisa segera menghapuskan orang menyebalkan ini dalam kehidupannya.

"Lo mau larang gue deketin Kak Shafa setelah lo nyakitin dia? Setelah lo buat permainan? Dan nyatanya sekarang justru lo yang-"

"Ardi!" Algy marah. Matanya terpejam. Algy tidak mau Ardi sampai menyelesaikan kalimatnya. Meski.. memang benar begitu kenyataan yang ada sekarang.

"Lo cuma cemburu, Bang. Lo lagi tersudut sama rasa penyesalan."

Nah. Demikianlah yang dapat Ardi katakan pada Abangnya yang tiba-tiba bersikap aneh padanya.

Algy menunduk. Algy menyadari bahwa semua yang dikatakan Ardi memang benar. Dia hanya sedang menikmati rasa penyesalannya, atas ulahnya sendiri. Dia harus menikmati permainan yang sudah terlanjur berjalan itu.

Untuk kesekian kalinya, Algy menangis karena kebodohannya sendiri.

•••

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang