•••
Bel tanda berakhirnya seluruh kegiatan belajar mengajar pun akhirnya terdengar juga. Seperti biasa, Gea sedang menunggu Shafa merapikan catatannya saat yang lain sudah menghambur meninggalkan kelas. Kebiasaan. Jika ketua kelas sudah mengaba-ngabai untuk berdoa, Shafa buru-buru memasukkan buku-buku dan peralatan menulisnya ke kolong meja untuk ikut berdoa. Namun setelah doa selesai dan guru keluar, ia akan mengeluarkan alat-alat sekolahnya lagi untuk melanjutkan hingga tuntas. Nanti, catatan itu akan di-copy paste murid lain yang tidak serajin dia. Selalu begitu.
"Lama lo, calon dokter!" ketus Gea. Ia kini tengah memakan sepotong sandwich buatan Shafa yang tersisa. Shafa yang menyuruhnya, maksudnya agar Gea bisa duduk tenang di sebelahnya.
Shafa menoleh untuk beberapa saat, tersenyum pada Gea. "Aamiin.. makasih!" ujarnya. Kemudian kembali pada buku catatannya.
Sedikit lagi, Shafa!
"Yeah! finally!" ujar Shafa keriangan. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gea menggeleng menyaksikan tingkah Shafa yang kekanakkanakan itu.
"Hello there!" pekik seseorang. Dari suaranya yang berat dan cool bisa ditebak ia seorang lelaki.
Gea menoleh ke arah sumber suara, tepat di ambang pintu kelasnya sudah berdiri seorang siswa, badge-nya sudah membuktikan bahwa itu adik kelasnya. Dan juga ... Gea tahu wajah itu, wajah yang kini terdapat tambahan kesan biru keungu-unguan. Gea menelan ludahnya mengingat a little fight di UKS tadi pagi.
"G lo jadi mau minta temenin ke sal..on..gak"
Shafa mengatupkan kedua bibirnya begitu mendapati Ardi yang mematung di pintu kelasnya. Kalimatnya pun menjadi agak diperlambat di akhir karena melihat itu. Secepat mungkin Shafa memalingkan wajahnya dari Ardi.
"Gue masuk .. Ya?" tanya Ardi pada keduanya. Tapi yang mengangguk hanya Gea. Shafa terdiam dan terus menunduk.
Ardi melangkah memasuki kelasnya. Shafa mampu melihat itu, ia mencuri-curi pandang. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sebenarnya ada apa?
"Uhm .. sorry. Kayaknya gue cuma butuh Shafa disini. Maksud gue-"
"Gue ngerti." sela Gea sebelum kalimat itu selesai. Gea tersenyum sedapatnya lalu beranjak dari kursi. Tapi kini sebuah tangan telah menahannya. "Lo-gak-bo-leh-ke-ma-na-ma-na!" ujar Shafa, sengaja ditekan-tekan tiap suku kata. Cengkraman tangannya bertambah kuat. Gea terduduk kembali, sesuai kemauan Shafa.
"Shaf, soal tadi gue m-"
"Udah gue maafin." jawab Shafa sebelum kalimat itu diselesaikan oleh Ardi. Kalimat itu terlontar dengan sendirinya. Ya... Shafa memang tak pernah bisa untuk tidak memaafkan orang lain. Termasuk ... Algy.
Tapi tidak secepat itu juga kan?
"Secepat itu?" tanya Ardi. Shafa sontak menatap tepat ke manik matanya, "Dalam hitungan sepuluh gue bakal berubah pikiran!" ketus Shafa. Matanya menohok tajam kepada Ardi.
Ardi buru-buru mengibas-mengibaskan kesepuluhjarinya.
"Oke, iya. Thank you, Barbie! Lo emang cewek idaman! Bodoh banget abang gue mutusin lo!"
DENG! DENG!
Gawat, gawat, gawat!
Ardi menepuk dahinya. Tidak seharusnya ia mengucapkan itu. Seharusnya ia bilang terimakasih saja, lalu pulang, atau mungkin memeluk dulu baru pulang. Ah, bagaimana ini, rencananya bisa-bisa batal.
Punya mulut kok gak bisa diajak jaga rahasia amat sih. Batinnya menggerutu. Ia kini mencengkram celana abu-abunya dengan penuh tenaga.
"Uh what?" Shafa menempelkan satu telapak tangannya di samping telinga. Badannya condong ke arah Ardi.
Ardi terkesiap, ia tertegun menelan ludah pahitnya. Dadanya kini terasa lebih lega, Shafa tidak benar-benar mendengarkan dirinya.
"Nothing" jawab Ardi disertai senyum yang mengembang. Senyum palsu. Shafa memutar kedua bola matanya sinis, "Yaudah!" ketusnya.
Gea, gadis ini menutup tupperware milik Shafa dan memasukkannya ke dalam tas Shafa. Entah mengapa, meski ia tidak terlibat dalam kisah cinta yang buruk ini, ia sangat terkejut mendengar pernyataan dari Ardi tadi. Gea menoleh menatap Ardi lekat-lekat, wajah pemuda ini baru terlihat sedikit mirip dengan Algy setelah pengakuan barusan. Atau Gea yang baru menyadarinya? Bagaimana dengan Shafa?
•••
duh maaf yak kalo nggak jelas banget ini alur:(

KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.