30: No More Chance

141 13 5
                                    

Shafa duduk bersimpuh di atas karpet. Terlihat tengah melipat mukena yang baru selesai ia pakai dengan sangat hati-hati. Ia membawa sendiri benda itu dari rumah. Dilipat serapi mungkin lalu dimasukkannya ke tas Yuka. Shafa tidak membawa tas, tidak biasanya. Entah apa alasannya, kali ini Shafa malas membawa-bawa beban di kedua pundak dan punggungnya. Shafa tidak suka memakai sling bag, biasanya jika pergi Shafa selalu membawa tas gendong kecil miliknya yang berwarna abu-abu. Selalu. Hingga Anisa sendiri sering menyeloteh kepada putri sulungnya ini untuk berpenampilan sedikit anggun saja.

Shafa beranjak dari posisi duduknya yang mulai tak nyaman. Lalu mulai melangkah pergi menuju pintu keluar. Ada sebuah senyuman tipis di wajah gadis ini. Ia bersyukur di tempat ini masih ada mushalla. Meski banyak orang yang memandangnya aneh. Mungkin karena wajahnya yang kejepangan itu, juga pakaiannya yang mungkin kurang bisa dipercaya ia seorang pemeluk agama Islam. Namun sejauh ini Shafa melihat, banyak juga yang belum berkerudung seperti dia. Semua orang punya pilihan sendiri, mereka punya cara masing-masing untuk tampil di depan orang-orang.

Shafa terhenti dengan mulut yang terbuka kebawa kesal. Di pintu yang sama dengan yang kini ia pijak, seseorang juga tengah melangkah memaksakan tubuhnya untuk keluar lebih dulu. Shafa sedikit menarik tubuhnya ke kiri untuk melihat seseorang di sebelahnya. Ekspresi heran pun tak ayal tergambar di wajah Shafa.

"Maaf, Shafa!" ujar orang itu sembari berlari secepat peluru. Shafa tidak ingin tahu apa sebabnya, ia pun mencoba tidak peduli dan kembali berjalan meninggalkan area tersebut. Shafa berjalan indah-indah saja sejauh ini, sampai tiba saatnya Shafa tersadar, bahwa orang itu berhasil menyebut namanya. Kalau begitu.. orang itu pasti mengenal dirinya. Begitulah.

"Kakak!" ujar Yuka tiba-tiba. Mengejutkan Shafa yang kini tengah berusaha mendapatkan kembali batang hidung pemuda tadi. Shafa menunduk melihat wajah Yuka yang kini memeluk dirinya erat. Yuka mendongak menatap Shafa dengan bibir yang mengerucut.

"Apa, Yuka?" tanya Shafa mencoba membelai rambut Yuka, berharap adiknya itu dapat tersenyum kembali.

"Kakak lama banget!" timpal Yuka. Shafa tertawa geli alhasil. "Gomen" ucap Shafa di tengah tawanya yang menyejukkan di mata seseorang, seseorang mengamati mereka dari kejauhan. Orang itu berdiri jauh dari Shafa dan Yuka. Ia ikut tersenyum melihat tawa Shafa, meski tidak terlalu jelas. Indah, semua yang ada pada Shafa selalu indah di matanya. Dan akan selalu indah sampai kapanpun.

"Gomen is maaf, yakan?"

"Eh-" Shafa terkekeh. "Elo?" ucapnya reflek begitu menyadari kehadiran seseorang di antara mereka. Reflek pula tangannya menjauhkan Yuka dari sisinya. Shafa memalingkan wajahnya kemanapun, ia tidak ingin berlama-lama dalam keteduhan mata orang ini. Sekarang bukan waktunya untuk itu. Sudah terlambat, Shafa menyesal mengapa dulu selalu tertawa saat pandangan mereka bertemu. Shafa baru menyadari keindahan mata Algy ketika mereka sudah sama-sama berjanji untuk saling melupakan dan tak pernah membahasnya lagi. Di saat itulah. Semuanya. Serasa berakhir.

Algy tertawa renyah. "Iya gue," ucapnya ramah. Algy bisa menyadari itu, bahwa Shafa memang sudah tidak ingin berurusan lagi dengannya. Namun bagaimana pun, seorang Algy akan sangat memalukan jika mudah menyerah, apalagi dengan perempuan berhati lembut seperti Shafa.

Algy tersenyum miring memperlihatkan wajah selengehannya. "Gue tau arti kata itu dari kamus yang Ardi beli. Dia kayaknya niat banget buat deketin lo" ucapnya. Lebih pantas dibilang cibiran.

Shafa berjengit dalam hati. Ia hampir tersedak mendengar rutukan Algy. Ya.. Algy ada benarnya juga. Shafa sependapat dengannya untuk kali ini.

Shafa masih bersikeras, jangan ada kontak mata disengaja antara mereka. Shafa memohon untuk itu. Shafa pun memaksakan diri untuk terlihat rileks di depan Algy. Lalu dengan mimik yang menunjukkan perasaan santai dan tak punya beban, ia pun memberanikan diri coba melihat ke mata Algy, dan tertegun saat Algy benar-benar membalas tatapannya.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang