7: Disappointed 2

237 15 11
                                    

Gomenne:3 pas di chapter berapa gitu, diriku agak linglung ngasih nama panggilan buat Gea. Jadi kadang Gea kadang Stella. Tapi udah direvisi hehe

•••

      Bel pertanda berakhirnya proses belajar berdering nyaring. Shafa melangkahkan kakinya keluar kelas, sebelah tangannya mengait lengan Gea. Kali ini ia tidak ingin kawan baik-nya itu tertabrak orang-orang lagi. Shafa menoleh menatap wajah Gea lekat-lekat, ia sangat menyayangi gadis itu. Ia tidak akan memaafkan siapapun yang melukai hati Gea.

Dalam hatinya Shafa meringis. Bagaimana dengan dirinya, yang tidak bisa berhenti untuk tidak memaafkan Algy, bahkan setelah pemuda itu memaki dirinya.

•••

      Shafa masih berjalan dengan Gea. Matanya memperhatikan sekeliling, berjaga-jaga agar Gea tidak tertabrak bahu siswa/i lain yang juga sama-sama tengah menikmati jalan setapak di tepi lapangan. Shafa terkesiap, ia melihat Ardi yang melewatinya begitu saja tanpa mengatakan apapun, senyum pun tidak sempat rasanya. Tapi jalannya tidak terlihat sedang buru-buru. Jadi, ada yang salah pada Ardi?

Apa jangan-jangan pada dirinya?

Shafa ingin memanggil. Namun tiba-tiba sebuah kebetulan yang tidak diharapkan terjadi. Handphone-nya menjerit-jerit; ada panggilan masuk dari seseorang. Shafa melirik ponselnya dan Ardi bergantian, ia tidak tahu harus memanggil Ardi atau mengangkat telepon lebih dulu.

Shafa mendesah pelan, ia langsung menunduk dan merespon panggilan itu.

•••

      Ardi berjalan gusar di antara lautan siswa yang menyesaki koridor. Matanya lurus ke depan. Tapi siapa sangka, dari sudut matanya pun ia masih sempat mengenali wajah teduh itu, wajah gadis yang berhasil membuat patahan pada hatinya. Gadis itu berjalan bersebelahan dengan sahabatnya.

Ardi tidak ingin menoleh, ia ingin dipanggil, ia ingin tahu masih inginkah Shafa mengenalnya. Jika tidak, berarti dugaannya tidak salah, itu memang pacar Shafa. Ardi memelankan ritme langkahnya. Sengaja, agar Shafa bisa menghampirinya, bila gadis itu sudi.

Ah, tidak. Shafa diam saja di tempat. Shafa bahkan lebih memilih handphone-nya dibanding dia. Ardi berlari sejauh kakinya melangkah. Ardi kecewa teramat sangat. Dia tidak tahu siapa yang harus disalahkan disini.

Ya memang sih, siapa Shafa siapa dirinya.

•••

      Shafa mendesah pelan, ia langsung menunduk dan merespon panggilan itu. Shafa sempat melirik sebentar ke arah Ardi. Pemuda itu berlari, dan itu tak biasanya. Sebenarnya akan dirasa biasa saja seandainya Ardi menyapanya tadi. Shafa mendesah lagi lagi, dia tidak mungkin merindu. Namun di dalam hatinya, Shafa berulang kali mengucap kata maaf pada Ardi yang sudah pergi entah kemana.

Dia lagi buru-buru. Shafa mencoba menenangkan pikirannya.

•••

      Shafa mendorong pintu cafe yang terbuat dari kaca. Tadi Ve memanggilnya dan menyuruhnya kemari. Ya, panggilan yang tidak diharapkan itu. Shafa menghembuskan nafas beratnya, ia tidak mungkin menyalahkan Ve karena Ardi saja. Lagi pula, seberapa penting Ardi di kehidupannya? Shafa mencoba untuk tidak panik. Untuk kali ini.

Shafa memasang tampang terceria yang ia bisa. Lalu melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan. Matanya menyipit.

"Shafa! Come here!" Seseorang diujung sana melambaikan tangannya ke arah Shafa. Shafa merekahkan senyumnya, lalu segera bersiap mengambil langkah untuk menghampiri orang itu, siapa lagi jika bukan Ve.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang