46: Like The Star

43 1 0
                                    

      Di bawah langit hitam dan sinar remang-remang dari sang rembulan, Algy bersama tas sekolahnya masih berada di jalan dengan mobilnya yang berwarna silver itu. Santai, masih pukul 7 ini pikir Algy. Elma hari ini pergi ke rumah neneknya di Menteng, jadi tidak akan ada yang berceramah seperti Fadli. Oh, ya. Jam 7 bukan waktunya bagi Fadli untuk pulang. Biasanya, laki-laki yang menjabat sebagai directur di sebuah perusahaan ternama itu pulang pukul 9 ke atas. Dan Ardi, pemuda itu tinggal sendiri sekarang di rumah. Dia sudah diperbolehkan mengendarai motor oleh Fadli, walau hanya ke daerah sekitar yang dekat-dekat seperti sekolah. Intinya, hari ini ia tidak ke sekolah bersama Algy lagi. Pulang juga tentunya.

Algy masih mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati. Di luar jalan licin, rintikan air dari langit kadang masih menetes, jatuh ke kaca mobilnya. Algy menoleh ke sisi kirinya, beberapa meter di depan sana ada sebuah minimarket. Itu bagus, Algy memang sedang memerlukan sebuah minuman penyegar untuk tenggorokannya yang terasa tandus.

Agak tidak masuk akal, tapi benar.

"Wait..." Algy menyipitkan matanya saat membelokkan stir mobil. Algy mendapati seseorang di sebuah tempat duduk depan minimarket tersebut. Seseorang itu.. Bukankah Algy mengenalnya?

"Itu Shafa!" jeritnya begitu saja. Tidak mengerti apa yang membuatnya begitu antusias saat melihat gadis itu sedang duduk sendirian di sebuah kursi kayu. Algy dengan tergesa segera mematikan mesin mobilnya dan keluar dari sana.

Algy berhenti tepat di depan Shafa dengan nafas memburu. Raut kepuasan tergambar di wajahnya. Tapi, gadis itu belum juga menyadari kehadirannya. Ia terus menghadap sampingnya, entah apa yang ia lihat.

"Shafa," panggil Algy lembut.

Shafa baru menoleh. Hanya bisa terdiam menikmati degupan jantungnya yang sudah bisa sedikit lebih normal saat melihatnya. Shafa.. tidak merasakan apapun. Mungkin ada, masih ada sedikit rasa sedih saat melihat mata pemuda ini, tapi tidak sedalam sebelumnya. Hanya sedikit.

"Iya?" sahut Shafa akhirnya. Betul, Shafa betul-betul tidak menggambarkan keterkejutan atau yang sebagainya saat ini. Tidak seperti sebelumnya. Sebelumnya-sebelumnya, yang penuh air mata dan kekecewaan.

"Gue mau ngomong," ucap Algy.

Shafa lantas mengangguk. "Omongin aja," timpalnya. Shafa bahkan tersenyum sekarang.

Tanpa menjawab, tanpa a atau b, Algy mengait lengan Shafa dan mengajak gadis itu pergi ke sebuah tanah kosong mirip kebun di samping minimarket ini. Gelap, siapapun bisa berbuat apa saja disini tanpa takut diketahui orang lain. Jadi... Apa yang akan Algy lakukan selanjutnya? Shafa benar-benar sudah mengantuk, mungkin alasan itu yang membuatnya biasa saja saat melihat Algy. Atau karena hal lain, entahlah, entahlah, entahlah.

"Shafa, gue..."

"Shaf!"

'Bruk'

Shafa tersentak. "A-Algy.. Kenapa ini...?" herannya sambil berusaha mencari tangan Algy untuk segera melepas pelukannya. Shafa ingin lepas dari sini. Ini tidak seperti perkiraannya, Algy tidak bisa melakukan ini begitu saja terhadap dirinya.

"Lo bintang gue....."

"W-what? Bintang apa, Algy..? Lepasin gue dulu."

"Lo bintang yang selalu nerangin gue dari kejauhan. Meski lo kadang gak terlihat, tapi gue tau disana lo ada buat gue. Cinta lo lebih besar dari bulan. Tapi karena lo jauh, semuanya kelihatan kecil. Semuanya kelihatan gak mungkin, semenjak kita jauh.."

"Iya, iya, Algy gue ngerti. Tapi please," ucap Shafa sambil melepaskan diri.

Shafa menatap Algy sendu.

"Sekarang lo baru bilang kalo gue bintang?" ucapnya.

Algy mengangguk. Tangannya terangkat untuk menyentuh sebelah pipi Shafa. Algy menangis, merengek, memohon pada Shafa lewat matanya. Dan ini semua membuat Shafa kesulitan. Shafa sudah tidak tahu lagi bagaimana untuk bisa menghadapi masa lalu yang meminta kembali. Shafa hanya melirik ke arah tangan Algy yang berada di pipinya. Bibirnya bergetar-getar. Sebuah pertanda kalau airmata nya terpanggil lagi.

"Algy...." Akhirnya. Akhir dari perjuangannya selama ini, selalu berakhir sia-sia saat melihat pemuda ini lagi.

Shafa menangis. Dan Algy dapat merasakan itu, bahwa Shafa kini membalas sentuhan tangannya. Algy dapat merasakan dinginnya tangan Shafa, getaran tangannya yang diakibatkan tangisan gadis itu.

Algy tersenyum. "Jangan nangis," ucapnya sambil mengusap kepala Shafa berulang kali. Tapi Shafa tidak berhenti, gadis itu kini malah mendaratkan satu pukulan keras ke dada Algy. "Lo sendiri nangis!" katanya dengan nada setengah terisak.

Algy jadi tertawa. Lalu, membawa Shafa ke dalam pelukannya. Disanalah, semuanya tercurah. Mereka kini tahu, bahwa mereka memang tidak bisa berpura-pura. Mereka ini satu, mereka saling menginginkan. Mereka..... sudah terikat satu sama lain.

"O, ya!" Algy menjauhkan Shafa dari sisinya.

"Gue pakein, ya?" tanya Algy.

Shafa lantas mengerutkan dahi. "Apa?" katanya tak mengerti.

Algy hanya menjawabnya dengan sebuah senyum simpul. Ia lalu berjalan ke belakang Shafa, dan menyilangkan sebuah kalung ke leher Shafa. Kalung itu, yang berliontin-kan bintang, yang dijumpainya pembantunya. Sekarang, kalung tersebut sudah terpasang dengan indah di leher Shafa. Terlihat sangat pantas dan anggun.

"Tunggu tunggu, lo sampe beli kalung yang liontinnya bintang buat gue?" kata Shafa ditekan-tekan tiap katanya.

"Iya," jawab Algy langsung saja.

Shafa tersipu malu, ia pun berbalik untuk menatap Algy di belakangnya. "Gila niat banget sih lo!" ujarnya disertai tinjuan kecil pada dada bidang Algy. Keduanya saling tersenyum dalam jarak yang sangat dekat, dan berakhir dengan Algy memeluknya kembali.

Algy masih tak paham, entah apa yang sudah Shafa berikan padanya, tapi Algy merasa waktunya begitu berharga saat bersama Shafa. Gadis yang ia tinggalkan ini, nyatanya adalah kebahagiaannya sendiri. Dia mengaku telah mengambil keputusan yang salah. Dan sekarang mungkin adalah waktunya untuk menebus semua itu. Untuk sementara. Sampai sang bintang berkhianat dan matahari merusak suasananya.

Algy meletakkan kedua tangannya di wajah Shafa. "Shaf, sorry, tapi,"

'Cup'

Shafa tersentak menerimanya. Tapi karena ini sudah berlangsung, jadi tidak ada pilihan lain selain mengikuti permainannya.

•••

      Shafa berjalan riang memasuki kelasnya. Di meja terdepan barisan nomor dua dari pintu, Gea sudah sampai terlebih dahulu, dan kali ini.. Tidak sedang membaca novel. Gea duduk tanpa sebuah ekspresi di wajahnya sekaligus menyaksikan kehadiran Shafa yang terbilang agak berbeda. Iya, jelas sekali Gea dapat melihatnya. Shafa berjalan sambil berjinjit senang itu kadang memang sering dilakukannya, tapi kali ini ada yang bertambah. Ada sebuah sebuah benda berkilauan menggantung di lehernya, yang ikut terombang-ambing sesuai langkah kaki gadis itu.

"Good morrow, cutie!"

"Good morrow- eh? Cutie?"

Shafa menduduki kursinya dan memposisikan tasnya seaman mungkin. Ia pun mengangguk menghadap Gea. "Something wrong?" tanyanya dengan terlihat begitu 'nice'.

Gea tersenyum kecut sambil merapikan poninya. "Lo ngeledek gue, ya?" ucapnya tak begitu jelas.

Shafa tidak butuh waktu lama untuk tertawa. Gadis ini mengibaskan tangannya di depan wajah Gea. "Ah, c'mon! Lo ini kenapa? Kenapa pujian gue dianggap serendah itu?" timpalnya masih dengan sebuah senyuman.

Gea makin penasaran dibuatnya.

"Lo kok," Gea menyerong badan, memandang Shafa aneh dari atas ke bawah. "Bersinar banget hari ini?"

•••

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang