Kembali menyorot pada sebuah rumah sederhana bercat biru di sebuah wilayah belakang komplek besar. Di dalamnya terlihat ada empat orang anggota keluarga yang masing-masing tengah sibuk dengan kegiatan mereka. Shafa dan Yuka tengah bersiap-siap untuk pergi ke Pesta Rakyat. Cahaya langit sudah mulai meredup, warna birunya membuat mata siapa saja merasa nyaman dengan keteduhannya. Shafa melirik jam yang menggantung di dinding, sudah pukul setengah 4 sore. Shafa benar-benar sudah siap, sudah termasuk dengan ibadahnya.
"Sekarang?" tanya Shafa pada Yuka. Yuka masih betah mematut dirinya di depan cermin. Gadis kecil bergaun merah muda ini mendongak menatap sang Kakak. Ia mengangguk dengan wajah yang innocent.
"Kita jalan kaki, Kak?" tanya Yuka masih berdiam di tempat. Padahal Shafa sudah melangkah lumayan jauh. Shafa terhenti sebelum sampai di depan pintu.
Shafa menyelipkan rambutnya yang mengganggu ke belakang telinga. "Deket, kok. Jangan payah deh!" ujar Shafa. Kakinya tergerak untuk menghampiri Yuka, lalu menarik tangan Yuka dengan lembut.
"Emangnya Kakak yang tinggi itu kemana?"
Ah?
Shafa lagi-lagi berhenti melangkah. Shafa menunduk, lalu menjilat bibirnya sendiri yang mendadak terasa kering. Bibir itu tak pernah dia poleskan apapun, sekalipun vitamin bibir katanya.
Shafa menoleh dengan sedikit terkekeh, ia pun tersenyum tanpa melihat mata Yuka. "Kakak yang mana lagi, Yuka? Kamu cuma punya satu kakak. Namanya Jeehan Shafani. Ini orangnya!" ujar Shafa, badannya membungkuk agar lebih dekat dengan Yuka. Rambutnya yang lemas ikut ke depan menghalangi sebagian wajahnya.
"Kakak tinggi yang dulu sering ngajak aku jalan-jalan sama kakak!" ujar Yuka. Air muka Shafa berubah seketika. Shafa kini mendadak gelagapan, ia pun kembali tegak seperti tadi.
Shafa membuang pandangannya ke sembarang arah. Sebenarnya ada banyak yang ingin Shafa hujatkan kepada Yuka jika anak kecil ini bukan adiknya sendiri. Jika bocah ini tidak berwajah mirip dengannya. Jika Shafa tidak menyayangi Yuka dengan teramat sangat.
Shafa juga dapat memaklumi. Yuka pasti tidak tahu permasalahan ini. Yang pasti Yuka tahu Algy dan dirinya sudah tak ada hubungan saja. Atau mungkin Yuka sendiri masih belum mengerti arti kata putus tersebut. Yuka pasti rindu bermain ke berbagai taman dengan mereka berdua tiap minggu. Yuka tidak bersalah dalam hal ini, Yuka tidak berniat membuat Shafa teringat kembali dengan kenangan manis itu.
"Kakak?" panggil Yuka. Tangannya menggoyang-goyangkan lengan Shafa. Shafa hampir ketahuan tengah bersedih, ia pun tersenyum untuk menutupi itu. "Udah mau jam 4!" pekik Shafa. Tangannya menuding ke arah jam dinding di atas. Yuka mendongak mengikuti arah telunjuk Shafa tertuding.
"Ayok, ayok!" pekik Yuka bersemangat. Ia pun berlari, sebelah tangannya menarik Shafa.
•••
"Wah, Kak! Banyak yang jual barbie!" pekik Yuka. Tangan kirinya digenggam kuat oleh Shafa, tidak boleh terlepas kata Shafa.
Shafa melihat sekeliling. Benar, banyak tukang mainan di sepanjang kaki mereka melangkah. Dan ada banyak barbie di antaranya. Shafa tersenyum pada Yuka. Hatinya sempat geli mengingat nama benda yang mirip dengan manusia itu. Beberapa orang di kehidupannya kadang memanggil dia dengan nama yang sama seperti benda itu.
Shafa berhenti sesaat, matanya tak sengaja menemukan sebuah stand yang melayani jasa pembuatan sketsa wajah paruh waktu. Dari sana, Shafa melihat sebuah sketsa wajah yang nampak tak asing. Ia kenal dengan apa yang ada di kepala orang itu. Namun pandangannya tidak dapat fokus, tangannya sudah ditarik-tarik oleh Yuka. Yuka merengek meminta sesuatu disana. Shafa sudah mencoba untuk memfokuskan dulu penglihatannya, namun tubuhnya yang sudah terbawa tarikan tangan Yuka tidak bisa mengelak. Shafa berusaha memanjangkan lehernya; masih penasaran dengan sketsa misterius itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomantizmTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.