34: It's Shafa

88 12 0
                                    

"Makasih, Bang." ucap Ardi dengan senyum pula. Shafa tersenyum lagi pada pria yang baru saja menolongnya.

"Maaf, Bang. Silahkan jalan lagi.." ramah Shafa, mencoba menghilangkan pandangan dingin dari si Pria berkemeja kotak-kotak merah. Ardi pun mengambil langkah yang sama. Ardi mundur membuka jalan, agar si Pria tadi dapat lewat melalui celah antara dirinya dan Shafa di hadapan. Ardi tersengir penuh hormat sembari mengayun tangan di depan dengan badan agak membungkuk. "Iya, Bang.. Jalan lagi.." ucapnya masih berusaha menyelaraskan keadaan.

Shafa menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, tersenyum lebar kepada si pria yang tanpa sengaja sudah dirusak kenyamanannya oleh tingkah mereka. Pria itu tersenyum kecil dan berjalan meninggalkan mereka, yang ini senyum tidak niat namanya.

Shafa menghela nafas pendek sepeninggalan pria tadi. Ia pun berbalik menghadap depan semula. Mula-mula Shafa mengangkat tangannya untuk menyentuh bagian kepala belakang. Lalu, membuka ikatan pada rambutnya yang sudah mulai mengendur. Rambutnya turun begitu saja sebelum sempat Shafa yang mengaturnya. Shafa menunduk untuk merapikannya dengan jemari.

Ardi menghentak hembusan nafasnya dan menarik seulas senyum lega. Selalu, Shafa selalu membuatnya merasa lebih baik. "Emak-emak dandan melulu" celetuk Ardi yang membuat Shafa harus mengangkat wajahnya. Shafa menatap Ardi dengan tatapan seolah ia ingin Ardi berhenti membuat masalah. Shafa tidak ingin lagi mengulang kesalahannya.

Ardi menahan tawanya hingga volume pipinya kini bertambah besar.

"Lo selalu cantik, percaya sama gue.." ucap Ardi.  Ardi mengangkat tangannya untuk membantu Shafa merapikan rambut. Ardi menyentuh bagian rambut Shafa semampu tangannya menggapai, merapikannya dengan sentuhan yang lembut dan juga apik. Ardi tertawa tiba-tiba. "Lo jangan ketawa ya?" tanyanya tanpa menatap mata Shafa. Masih tersengir sambil terus menyisir rambut Shafa dengan jari.

Shafa terkekeh. "W-what? Kenapa gue harus ketawa?"

Shafa mendadak kaku di tempat. Jantungnya serasa meledak di dalam sana. Ardi kini mendekatinya hingga hanya menyisakan dua centi di antara keduanya. Ardi tersengir dan semakin mendekatkan wajahnya.

"Gue anak yang ngasih perlengkapan ujian ke lo itu," bisik Ardi. Suaranya sangat pelan hingga nafasnya menggelitik kulit leher Shafa. Ardi tersenyum saat jarak mereka sudah lumayan jauh. Shafa terperanjat tentu saja, ia pun buru-buru menautkan alisnya. Matanya dipertajam lagi, diam-diam mengamati tiap lekukan pada wajah Ardi yang sepintas memang mirip dengan bocah itu.

Tapi Shafa tidak begitu yakin dengan penglihatannya. Shafa pun sudah sedikit lupa dengan seluk-beluk raut muka yang dimiliki orang itu. Garis-garis kontur pada wajahnya, bentuk hidung yang dimilikinya, bibir yang bagaimana, dan.. Ya, mata. Shafa memang tidak mengingatnya dengan sempurna. Tapi Shafa merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat mata Ardi, Shafa merasa seperti kembali ke masa itu. Kejadian itu serasa terputar dari mata Ardi.

Shafa terkekeh, ia hampir lupa jika Ardi juga punya mata. Ardi pasti menyadari jika barusan Shafa mengamatinya. Shafa memasang tampang tak percaya. "Ngarang!" Shafa bersungut kesal.

Ardi terpingkal dengan sendirinya. Ia melipat kedua tangannya di atas diafragma. Tersenyum miring dan kemudian bergumam dengan alis mata yang ditarik ke atas. "Okay, kalo lo gak percaya.." ucap Ardi dengan senyum remeh. Tidak berguna, Shafa tidak percaya.

Shafa mencibir sekaligus melirik sinis, kedua tangannya dilipat di depan.

"Shaf," panggil Ardi. Shafa menoleh secepatnya. "Ha?" sahutnya datar.

Ardi tak berkutik. Hanya mengangkat ibu jarinya dan mengarahkannya ke arah kiri. Shafa sontak memutarbalik badannya mengikuti ujung ibu jari Ardi. Shafa terdiam sekaligus terperanjat. Matanya sempat melirik sebentar kepada Ardi.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang