Matahari sudah setinggi atas kepala. Dan Shafa masih menekan-nekan remote telivisi untuk mencari saluran bagus, yang setidaknya menayangkan kartun agar dirinya bisa terhibur. Shafa tidak ingin pergi ke kamarnya, ia memilih untuk merebahkan tubuhnya pada sebuah sofa panjang di ruang tamu. Pakaiannya pun belum diganti karena Shafa belum ingin mandi dulu. Suhu badannya meningkat sampai 2 derajat.
"Sakit setelah kencan, konyol banget." gumam Shafa parau.
Shafa meletakkan remote tv itu di meja kayu berkain batik, tepat di depannya. Shafa baru sadar jika dirinya memang benar-benar sedang sakit. Shafa harus berterimakasih pada ibunya dan juga Ardi. Shafa akan baik-baik saja dengan keputusan mereka ini.
"Diminum, Anak ibu.."
"Eh, Ibu!" Shafa langsung terlonjak dan duduk dengan gembira. Shafa melirik ke arah Anisa dan secangkir teh hangat yang dibawakannya untuk Shafa. Shafa tersenyum, "Bismillaahirrahmaanirrahiim" gumamnya sebelum menyeruput sedikit dari teh itu. Shafa tidak berani menghabiskannya, dari minuman itu jelas sekali tampak ada asap yang melandai-landai, menandakan kalau teh itu baru saja dibuat dan masih terlalu panas untuk diminum. Shafa tersenyum tiga jari.
"Seperti biasa, teh buatan ibu 300 kali lebih enak dari teh mahal!" seru Shafa, membuat Anisa merasa pekerjaannya itu benar-benar dihargai. Padahal apapun jenis makanan dan minuman yang kita makan, rasanya akan terasa selalu kurang enak jika kita sedang dalam keadaan sakit.
Anisa tidak tahu dan tidak mau tahu, apakah Shafa menyelipkan sedikit kebohongan saat mengatakannya, atau memang benar nyata. Anisa tertawa, kadang Anisa harus menutupi kesedihannya ketika melihat senyum indah dan bahagia Shafa. Saat itu, Anisa berpikir, Anisa lambat laun pasti akan kehilangan Shafa, bahkan tak lama lagi. Shafa sudah besar, hidupnya tak akan sampai disini saja dan tak mungkin terus begini bersamanya. Anisa ingin waktu bergerak lama, dengan begitu ia bisa menghabiskan masanya bersama Shafa sebelum seorang pangeran baik hati datang, menjemput Shafa untuk hidup bersama. Anisa takut akan kehilangan Shafa.
Bukan cuma itu, Anisa juga takut Shafa tidak menemukan kebahagiaan bersama pangerannya kelak. Macam dirinya sekarang ini, pernikahan ini bisa dibilang tidak berarti setelah sumpah-sumpah yang Ghani limpahkan saat menikahinya. Meski ketiga anak mereka telah lahir, namun hubungannya bersama Ghani tidak seindah seperti yang ia harapkan dulu, yang Ghani janjikan padanya dulu sampai-sampai ia harus menentang kedua orang tuanya. Anisa ingin Shafa tetap berada di sisinya, dengan begitu kebahagiaannya akan terjamin. Anisa yakin.
"Ibu, kok diri aja? Duduk sini."
"Eh, nggak, Nak," Anisa terkekeh begitu Shafa mempersilahkannya. Anisa berlalu. "Ibu mau beres-beres gudang, Shafa!" sahutnya sembari berjalan menembus tirai pembatas antara ruang tamu dan dapur.
Shafa terdiam mengatup mulutnya. Lalu, "Ibu! Shafa bantuin ya!"
"Tehnya abisin dulu sana! Terus kalo udah, ditaro dan cuci langsung!"
"Ya, ya!" Shafa buru-buru mengangkat cangkir tehnya dan meneguknya hingga tak bersisa. Shafa secepatnya berlari sambil membawa cangkir tadi yang sudah kosong.
•••
Shafa menahan nafasnya saat membuka tirai gudang yang berdebu. Shafa mengibaskan tangannya di depan hidung untuk menghindari debu-debu jahat yang kan mengganggu pernapasannya. Anisa sendiri sudah masuk ke dalam sana lebih dulu, terlihat sedang mencoba mengangkat tumpukan kardus yang dari jauh kelihatan berat. Shafa sontak mempercepat langkahnya menghampiri sang Ibunda yang sedang bersusah payah. "Ibu, Shafa aja!" Shafa spontan memekik dengan keras. Kardus itu hampir jatuh beserta ibunya sekaligus lantaran Anisa sempat bangkis barusan.
"Huh.. Bu, untung aja gak kena kaki!" Shafa langsung mengambil kendali sebelah sisi kardus itu dari pelukan Anisa. Shafa tertatih-tatih luar biasa, kardusnya memang sangat berat. Mungkin seseorang telah mengisinya dengan batu-batu. Mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.