11: The Truth

132 12 0
                                    

•••

      Shafa dan siswi-siswi kelasnya baru saja selesai mengganti pakaian olahraga mereka. Bel istirahat baru akan berbunyi 10 menit lagi. Oh bagus, Gea dan teman-temannya yang lain berjalan riang di sepanjang koridor menuju kelas. Akhirnya, ada waktu kosong setelah selama ini tertekan dengan tugas yang menyulitkan hidup mereka, terutama bagi mereka yang tinggal menghitung bulan akan lulus dari sekolah ini. Mereka tidak langsung ke kantin, pagar kantin belum dibuka sampai bel istirahat terdengar nanti. Shafa sendiri tidak begitu menonjolkan kesenangannya, ia hanya berjalan santai dengan segala aura kecantikannya, bagaimana ia tidak terlihat cantik dengan ritme langkah yang terkesan teratur dan senyuman tipis di wajahnya. Kedua tangannya memeluk pakaian olahraga yang belum sempat ia lipat di tempat ganti tadi.

Di depan sana, Gea melambaikan tangannya pada siswi-siswi yang tadinya berjalan riang bersama dirinya. Gea berhenti, ia memutar tubuhnya untuk menatap Shafa yang masih jauh tertinggal di belakang. Gadis itu berjalan tampak cantik sekali, Gea ikut tersenyum melihatnya. Shafa nampak serius memandang sekeliling, dengan senyum yang tak pernah lepas dari penglihatan siapapun.

Gea mencoba mengikuti arah bola mata Shafa tertuju. Ke arah lapangan, yang mana disana terdapat anggota tim basketball SMAN 77 Jakarta yang sedang berlatih menjelang tournament, Gea mengangguk, ia tahu itu.

Gea tiba-tiba merubah air mukanya. "William kan mau turnamen, berarti dia ada disitu ya?" gumamnya. Matanya tak lepas dari orang-orang yang berada di area lapangan tersebut.

Tak lama setelah itu, salah satu dari anggota tim basketball tersebut kehilangan kendalinya. Bola yang seharusnya ia oper ke rekannya malah terlempar sangat jauh hingga keluar dari arena. Bola itu melintas dengan kecepatan tinggi dan tanpa diduga mengenai kepala seorang gadis yang sedari tadi tersenyum memperhatikan mereka. Gadis itu tak lain adalah Shafa. Gea spontan menjerit dan menghampiri Shafa yang hendak jatuh ke lantai.

Gea terlambat. Shafa sudah terjatuh, tak sadarkan diri.

"Shafa! Wake up!" Gea tak bisa menahan kekhawatirannya pada gadis ini. Suaranya parau akibat tangisan yang memaksa keluar dari mulutnya.

Sekarang, keadaan di sekeliling Gea dan Shafa menjadi agak gelap. Seluruh anggota tim basketball datang mengepung Gea yang hampir menangis. Termasuk juga August William, seorang pemain bernomor punggung 10, dia tak lain merupakan sepupu Gea sendiri.

"Ya Tuhan, gue gak sengaja beneran!" pekik salah satu di antara mereka. Dia lah yang telah melempar bola itu hingga menyebabkan semua ini.

"Lo bisa main nggak sih?!" Willy berkilat-kilat memaki rekannya itu. Tatapannya ganas bagai raksasa yang kelaparan. Tangannya sudah mengepal di bawah. Ia siap meninju orang yang telah menyebabkan ini pada Shafa-nya, idolanya.

"Lo yang bisa main atau nggak?! Gue tadi oper ke lo lo malah liat ke arah lain gak nangkep bola dari gue!"

"Ya lo nya aja yang kejauhan lemparnya!"

Ardivansyah Bayu Dwiputra, pemuda itu baru saja balik dari Ruang Kesehatan untuk mengambilkan sebotol minyak kayu putih dan segelas air minum untuk Shafa. Mulutnya terkatup sedari tadi. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia pun memutar kedua bola matanya menyaksikan dua insan bodoh itu, persilihan tak akan memperbaiki keadaan menurutnya.

"Pegang sebentar," ucap Ardi. Kini dirinya bersimpuh di hadapan Gea, ia menyerahkan sebotol minyak kayu putih dan segelas air tersebut pada Gea. Gea menerimanya dengan baik.

Lalu, dengan sentuhan yang sangat lembut, Ardi mulai mengoleskan minyak tersebut ke daerah yang diperlukan, lalu sedikit mengangkat tubuh Shafa dan memaksa gadis itu meminum air putih yang ia bawa, Shafa meminumnya, itu berarti ia baik-baik saja.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang