18: Dishes

107 12 0
                                        

"Assalaamu'alaikum, Mah! Pah!"

Algy dan Ardi sudah sampai di depan pintu utama rumah mewah mereka. Mereka pun saling berlomba memberi salam untuk sang Mama dan Papa. Jalannya dipercepat untuk menemui kedua orang yang telah mengikhlaskan mereka tinggal di rumah besar ini.

Algy dan Ardi saling berebut memasuki dapur terlebih dahulu. Mereka tahu pasti Elma, ibunya, ada di dalam sana. Mereka tahu karena kini aroma masakan enak berhasil tercium oleh indra mereka.

"Hello, wanita paling cantik nomor satu di dunia!" ujar Ardi sangat bersinar. Elma menoleh, ia langsung tersenyum begitu mendapati Algy dan Ardi di pintu dapur. Elma berjalan santai menuju kedua anak lelakinya itu.

"Kok telat banget pulangnya?" tanya Elma sarkastik. Ardi dan Algy cengar-cengir. Ardi membuka mulutnya, "Tadi kita nganterin pacar baru-"

Ardi mengatup mulutnya. Matanya merem-melek. Baru saja.. sebuah kaki menginjak kuat kaki Ardi.

"Kita tadi ke cafe dulu, Mam.." sambung Algy.

Elma mengangguk. Senyumnya belum juga luntur.

"Okay, anak-anak muda, sekarang tolong bantu saya menyusun makanan-makanan ini ke meja makan. Siap anak muda?" tanya Elma penuh dengan canda tawa. Tentu saja disambut tawa oleh kedua pemuda itu. Mereka mengangguk tanda setuju.

Tanpa perlu menghitung mundur, kedua anak lelaki tampan itu mulai memindahkan hidangan-hidangan dan alat-alat makan yang diperlukan ke ruang makan.

•••

"Ini?" tanya Willy, kaca helmet-nya dibuka. Matanya tak lepas memandangi sebuah rumah tempat motornya terhenti. Shafa yang menyuruhnya berhenti disini.

Shafa mengangguk. Lalu segera turun dari motor Willy. "Iya. Makasih ya, Will!" ujar Shafa. Tersenyum manis.

Willy menangguk, ia merasa harinya sudah complete. Senyum Shafa sudah membayar semua keringatnya seharian ini.

"Gue balik nih ya?" tanya Willy yang langsung saja direspon oleh sebuah anggukan kepala Shafa. Willy tersenyum sedetik, lalu menutup kembali kaca helmet-nya.

Shafa membalikkan tubuhnya. Beberapa langkah lagi dirinya akan sampai di rumah A... di rumah Seno.

"Oy, Shaf!" pekik Willy, lagi?

Shafa menoleh malas. "Ya?"

"Nanti lo pulang sama siapa?" tanya Willy setengah berteriak. Jarak mereka sudah cukup jauh sekarang.

Shafa menggumam tidak jelas. "Gak tau, liat nanti aja gue mah gampang" jawabnya. Lalu tersenyum di akhir kalimat. Willy mengangguk.

"Telpon gue kalo lo mau gue jemput ya?!"

Shafa terdiam. Dia harus setuju, dia tidak ingin besok sampai tidak masuk sekolah hanya karena kakinya pegal-pegal hebat. Besok hari Sabtu, waktunya kelas kesenian, tidak boleh terlewat!

"Oke deh!" ujar Shafa. "Hati-hati ya, Wil!" lanjutnya. Willy hanya mengacungkan ibu jari, detik selanjutnya ia sudah melesat pergi meninggalkan Shafa.

Shafa memutar balik tubuhnya. Kepalanya terangkat, mengamati rumah besar bercat jingga ini. Ada secercah perasaan tidak siap di dalam benaknya. Entah itu tidak siap untuk sekedar menginjakkan kaki atau tidak siap untuk merindukan masa lalu; saat dirinya berdiri di belakang Algy dan Elma menyambutnya dengan sangat baik.

Shafa memejamkan matanya dan menarik nafas dalam.

Be a good girl. Batinnya mencoba percaya diri.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang