42: "Sorry"

79 8 1
                                    

"Oh.. mau gue jewer rupanya.."

Shafa berjalan menuju jendela kamarnya. Kemudian duduk menyerong dengan sebelah tangan berpegang erat pada kusen jendela. Shafa cekikikan sendiri sambil berdesis keras. Badan Willy yang besar, serta bajunya yang berwarna hijau sekilas memang tampak seperti semak-semak di sebelahnya. Tapi Shafa tidak buta, jelas sekali ia bisa membedakan mana semak mana Willy-nya itu. Shafa menarik kerah belakang Willy dengan sebuah senyum jahil. "Udah deh.. Lo tuh emang nggak pinter ngumpet. Gue miopi bukan hipermetropi. Gue bisa liat lo jelas, Willy.." ucap Shafa sangat bahagia setengah berbisik.

"Segera, Willy."

Hening melanda. Tidak ada perubahan yang terlihat sedikitpun. Willy masih meringkuk dengan kepala yang menyusup ke lipatan tangannya. Shafa menganga sebentar, lalu mencoba untuk turun ke bawah dari jendela kamarnya dengan penuh kehati-hatian. Model baju tidurnya yang kebetulan berbentuk terusan selutut membuatnya harus hati-hati agar tidak menyenangkan mata laki-laki. Laki-laki mana, tidak tahu. Willy tidak melihatnya, sepertinya.

Shafa berdiri di belakang ringkukan tubuh Willy sambil berkacak pinggang. Shafa tidak kuat lagi, Shafa akhirnya duduk bersimpuh tepat di belakang Willy dan langsung mengangkat tangan untuk menyikapi pemuda itu. "Hello..?" lirih Shafa, tangannya mulai menyentuh sebelah pundak Willy.

"Lo bawa ransel sebesar itu.. ada apa? L-lo darimana?"

"..."

"Kenapa diem?! lo darimanaa?!"

Shafa terkejut setengah tertatih menahan berat badan Willy. Pemuda itu hampir limbun ke tanah saat Shafa mencoba untuk menghadapkan badan Willy ke arahnya.

•••

"Awh!"

"Lo tuh bisa pelan-pelan nggak sih jadi cewek!"

Di ruangan yang tidak terlalu besar ini, di kamar tidur seorang gadis yang berperawakan bagai barbie, Willy tidak bisa berhenti membentak Shafa saat Shafa berusaha mengobati lebam di tangan kanannya. Shafa hanya menggeleng karena keberisikan, untung punya untung pintu dan jendela kamarnya sudah dikunci dengan rapat. Tujuannya agar Anisa tidak mengetahui kedatangan seorang pemuda ke kamar anak perempuannya yang terkesan mendadak dan kurang etika. Shafa tampak sangat serius membersihkan luka tersebut dengan larutan alkohol yang telah disiapkannya. Wajahnya yang imut itu, bibirnya yang mungil berwarna merah jambu, kulitnya yang terang di antara suasana gelap di kamarnya, serta mata yang hampir seperti satu garis lurus, membuat Willy melupakan rasa sakitnya dengan cepat. Hawa-hawa musim semi di Jepang, Willy membayangkan dirinya berada di jalan yang sama dengan Shafa, melihat hujan sakura bersama-sama lalu memungut sakura yang jatuh dan menyebarkannya dengan penuh canda tawa. Willy terkekeh membayangkannya, detik itu juga pandangan Shafa teralih kepadanya.

Dua detik berlalu, dan Shafa masih belum mengalihkan pandangannya dari Willy. Shafa sengaja membuat kerutan di dahinya. "Doushita?" tanyanya dingin serta datar. Willy tersentak seketika.

"Lah.. Ngga ngerti gue lo ngomong apa."

"Oh?" Shafa tersentak balik. "Sorry gue lupa, gue kira lo-"

"Gue nggak akan belajar bahasa Jepang cuma buat deketin lo."

"..." Shafa tersentak kemudian tertegun. Kalimatnya terdengar seperti.. Willy sedang menyindir seseorang. Shafa lalu tertawa kecil dan kembali mengurusi luka Willy, hanya tinggal menunggu lilitan perban yang akan dibubuhi ramuan herbal olehnya. Shafa tersenyum senang memandangi luka Willy yang hampir selesai diobatinya. Hanya tinggal satu langkah lagi. "Akan segera tiba gelar dokter di nama gue.." ucapnya. Senyum tipisnya sangat imut, juga cantik.

"Amin.. Pokoknya selagi ada gue, uang buat kuliah lo pasti bakal balik."

Shafa perlahan mulai melunturkan senyumnya. Shafa memandang penuh ke arah Willy yang sedang tersenyum ramah kepadanya. Tidak ada ekspresi yang dapat Shafa tunjukkan pada Willy khusus untuk kasus kali ini. Shafa ingin memarahinya, Shafa ingin Willy berhenti membantunya dan berhenti menyakiti fisiknya sendiri. Shafa.. entah mengapa ia tidak ingin melihat wajah kelelahan itu lagi. Terlebih, seluruh modal ditanggung oleh pemuda itu. Shafa tidak mungkin membiarkan anak SMA yang tinggal seorang diri di sebuah kost-an mengasihinya seperti ini. Dia butuh banyak uang untuk dapat menghilangkan kesendiriannya. Mungkin untuk jalan-jalan ke luar, atau kegiatan lain di luar kebutuhan pokoknya.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang