38: Shocked

80 11 2
                                    

      Willy berdiri setengah menyandar pada tembok tiang sekolah. Bel sudah dibunyikan, kali ini lebih cepat dari biasanya. Ketua Kelas mengatakan guru-guru mereka sedang ada rapat besar. Willy masih sendirian di tiang itu layaknya jomblo karatan, dengan garis bawah pada kata jomblonya. Jomblo. Itu lebih tepat untuk menggambarkan kesendirian Willy yang tampan dan seragamnya yang agak melenceng dari peraturan sekolah. Tapi Willy tidak pernah peduli dengan pandangan murid lain terhadapnya. Ini hidupnya, ini jalan yang dipilihnya. Lagipula, sekolah sudah usai, Willy tak punya alasan kuat untuk terus berlaku sebagai anak baik. Made si Ketua Osis juga tidak berhak mencatat namanya saat bel pulang sudah berdering.

"Si Barbie galak itu nggak masuk ya? Padahal kemaren gue liat dia di PR."

"Maksud lo si Shafa?"

"Ya iyalah, siapa lagi yang paling aduhai di sekolah kita ini."

"Duh cewek gue pasti lagi sakit tuh ya."

"Enak aja cewek lo. Cewek gue!"

"Lah si tukang ngarep! Jerawat lo aja sama pahala lo banyakan jerawat lo, Tejo!"

Willy menajamkan telinganya mendengar kata-kata barusan dari mulut-mulut segengan siswa kelas 12 yang berjalan di belakang tiang. Willy sempat memutar lehernya untuk mengetahui tampang-tampang siswa yang sudah mengganggu pendengarannya itu. Willy menarik sebelah sudut bibirnya alias mencibir, di antara kakak kelasnya tadi tidak ada yang benar. Willy merasa paling benar, seakan dialah yang paling pantas untuk Shafa-nya.

"Dor!"

"Shh.. Gea!" erang Willy emosi. Gea malah cengar-cengir memperlihatkan deretan gigi putihnya. Willy melengos memasang tampang jengkelnya.

"Baju lo tuh benerin. Mau jadi apa lo?" tanya Gea sambil mendorong Willy dengan satu jarinya. Tadi Gea sempat memperhatikan cara berpakaian Willy sejak jarak mereka masih cukup jauh.

Willy berdecak sebal, menangkis tangan Gea yang tengah menarik lengan seragam putihnya. "I am on my way. Stop acting like you are my mother," sinisnya. Tapi diam-diam merapikan bajunya yang sudah keluar-keluaran.

Gea tersenyum kecut. Lalu, melirik tajam kepada Willy yang tengah sibuk merapikan seragamnya.

"Ngomong-ngomong.. Bensin lo banyak?" tanya Gea tiba-tiba. Mengembalikan keadaan yang tiba-tiba jadi sunyi sepi. Willy menoleh menatapnya.

"Ya kalo beli sih jadi banyak. Kenapa?"

"Hm.." Gea menggumam. "Anterin gue jenguk Shafa yuk? Chairmate tersayang tercinta terteran gue itu hari ini ngga masuk tau! Uuu curutku!" Gea malah asik sendiri dengan bayangan Shafa di atas kepalanya.

Willy tersentak. Spontan beranjak dari sandarannya dan mulai berdiri tegak menghadap Gea. Detik itu juga Gea tersadar dari kelakuan lucunya.

"SERIUS LO DIA SAKIT?!"

•••

      Entah hanya perasaan Shafa saja atau semuanya, semakin kesini waktu berjalan semakin cepat. Buktinya sekarang matahari sudah tenggelam dan digantikan oleh sinar remang-remang dari sebuah bola putih dengan pijar kekuningan di luar angkasa. Shafa menjatuhkan tubuhnya ke lantai, di depannya ada sebuah kardus. Masih sama, kardus yang isinya buku-buku lama Shafa. Shafa tidak membukanya, hanya mengambil sebuah buku dari atas kardus itu yang pernah dibacanya. Buku bercover beruang bulu merah muda yang sedang membaca di bawah pohon. Buku yang hampir Shafa robek tadi siang karena rasa kesalnya pada seseorang.

Shafa membukanya lagi. Shafa sudah mengerti sekarang, bahwa dia tidak ada bedanya dengan tokoh Hani di salah satu cerpennya. Shafa sama sedihnya dengan anak itu. Kejadiannya persis seperti yang Hani alami, persis seperti apa yang Shafa tulis disana. Shafa jadi ingat hari lalu, saat seorang wanita paruh baya mencoba membaca nasibnya dan mengatakan bahwa ia harus berhati-hati dengan hobinya. Hobinya itu bisa menghancurkannya, mungkin itu inti dari yang nyonya tersebut maksud. Shafa meringis, kepalanya mendadak pening lagi.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang