22: Bentou^.^

111 13 0
                                    

      Algy keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pada bagian badan dan kepalanya. Wajah frustasi-nya sudah sedikit pudar sekarang. Setelah mengantar Shafa pulang semalam, Algy langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, lalu tertidur begitu saja tanpa perlu dihitung mundur oleh Ardi. Algy menahan tawanya mengingat itu.

Algy tak bisa menahan kegembiraannya mengingat peristiwa heroiknya semalam. Akhirnya, Algy berhasil menyelamatkan Shafa dari sebuah kemalangan. Dengan tangannya sendiri tentunya.

Algy mengangkat tangannya layaknya orang hendak berdoa. Mengamati setiap garis tangannya dengan senyum mengembang. Tangannya, berhasil menggapai tubuh indah milik seorang Jeehan Shafani lagi sejak lama tak pernah melakukannya. Algy melompat kecil di tempat, sebelah tangannya diangkat setinggi mungkin seraya bersorak tertahan.

"Lo seneng ya bisa nganter Kak Shafa pulang?"

Algy menoleh ke arah suara itu berasal, wajahnya masam begitu mendapati Ardi tengah berdiri sembari membawa nampan berisi dua mangkuk makanan, sereal mungkin, serta dua gelas besar berisi susu yang ditutup oleh tutup gelas dari porselen. Adiknya itu sudah siap dengan seragam basket kebanggaan sekolahnya, SMAN 77 Jakarta.

Hari ini hari Sabtu, tidak ada pelajaran, hanya ada kegiatan ekstrakulikuler.

Kedua sudut bibir Ardi terangkat, Ardi tersenyum pada Algy. Lalu, kakinya itu mulai melangkah menuju sebuah meja kayu di samping tempat tidur mereka. Sejurus kemudian, nampan yang berisi sarapan mereka itu diletakkannya di atas meja.

"Udah gue bilang, lo masih ada rasa sama Kak Shafa, lo cemburu kan sama gue waktu itu?"

...Ar, sebenernya.... iya lo bener.

"Udah gue bilang, gue sayangnya sama Angel!" ketus Algy. Pandangannya dipalingkan.

Ardi tertawa. "Gue tau lo, Algy." ucapnya. Nada bicaranya terkesan enteng. Detik itu juga, keadaan di sekitar mereka berubah menjadi hening. Algy terlihat sedang terfokus pada satu titik di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang ia fikirkan.

•••

"Yahh terus aku gimana? Shafa udah telat nih.." Shafa berkilat-kilat di samping meja makan. Sesekali matanya melirik pada sarapan yang sudah disediakan Anisa untuk dirinya. Ia lapar, ingin makan itu, tapi waktu kelihatannya tidak menunjukkan kerjasama. Tidak ada waktu untuk makan.

Shafa mencoba mengambil selembar roti di atas meja makan. Lalu duduk sebentar untuk melahap roti itu, tanpa menambahkan perisa apapun di atas Nya. Shafa melirik lagi ke arah jam dinding, sudah sangat telat.

"Ibu bener gak bisa nganter?" tanya Shafa setengah berteriak. Sengaja, agar ibunya yang entah di rumah bagian mana bisa dengar. "Iya, maaf ya, Shafa!" Anisa menyahuti.

Shafa mendengus sebal. Lalu berdiri untuk segera meninggalkan rumah. "Assalaamu'alaikum!" pekiknya di ambang pintu.

•••

'Bruk'

Shafa menghempaskan tas gendongnya pada kursi di samping Lusi. Ia sudah sampai di Ruang Kelas Kesenian SMAN 77 Jakarta. Wajah Shafa tampak jengkel sekali, rambutnya yang semula dikuncir belakang rapi jadi sedikit kacau, ulah si angin yang berkali-kali menerpa bagian kepala Shafa saat aksi kebut bersama ojek tadi. Bentuk poni lempar miliknya pun sudah tak secantik tadi. Shafa cemberut sembari terus merapikan poninya dengan jari.

Lusi memandang Shafa dengan penuh keanehan. Tidak biasanya seorang Jeehan Shafani berpenampilan sekacau ini. Meski Shafa bukan gadis yang senang bersolek, tapi Shafa selalu rapi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rok abu-abu dan seragam putihnya pun tidak diperketat seperti teman-teman mereka yang lain, Shafa memang tidak pernah mengikuti trend.

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang