45: A Kiss

84 4 0
                                    

"Sahabat gue cuma Gea. Sampai kapanpun."

Shafa terbelit sendiri dengan ucapannya. Kata-kata itu keluar sendiri. Shafa secepatnya berlari meninggalkan Ardi, tak tahu lagi akan menaruh muka di sebelah mana. Ia ingin menyembunyikan wajahnya dari Ardi. Saat ini Ardi pasti langsung membencinya, benar-benar membencinya. Ardi pasti dibuat keliru. Sebenarnya apa ini? yang mana? Mengapa tidak sama dengan janjinya hari lalu? Shafa sendiri yang mengatakan mereka kan selalu bersama, berada dalam satu kebahagiaan, apapun akan terjadi bila mereka berdua. Bukan main, sekarang siapa lagi yang disakitinya. Dia memang bukan gadis yang teguh pada satu pendirian, bukan juga gadis yang pandai mengendalikan emosinya. Kepribadiannya tak kunjung berubah.

Oh, Tuhan.. Meski hanya terdiri dari beberapa kata, jika yang dikatakan adalah sesuatu yang tidak pernah kau harapkan dari bibirnya, tetaplah, kecewa datang walau dielak. Benar, itu memang benar Shafa akui. Shafa berjalan lesu menuju Willy dan langsung terduduk di lantai dengan sedikit bantingan. Bibirnya tidak bicara, matanya juga tidak menceritakan apapun. Biar. Biar saja, biar lukanya terbagi sama rata di antara keduanya.

•••

      Sepuluh menit menuju bel masuk berdering. Waktu yang cukup banyak untuk Willy yang hanya memperhatikan Shafa di depannya, kekasihnya yang tiba-tiba kembali dengan ekspresi yang tak terbaca. Bibir yang hampir selamanya tidak bisa terbuka saking lamanya berdiam dalam posisi seperti itu. Willy lantas ikut menyejajarkan tubuhnya dengan Shafa. Usil-usil, tangannya tergerak untuk memainkan rambut Shafa yang terkuncir seperti kuda.

"Kok lo gak nanya sih gue kenapa?" tanya Shafa secara tiba-tiba dibarengi dengan tolehan kepala menghadap Willy.

Willy mengeyerengit dahi. "Lah," herannya begitu menyadari pandangan seburuk apa yang ditujukan Shafa untuknya.

"Kalo aku tanya, emangnya kamu mau jawab?"

Shafa tersentak seketika. Benar juga kekasihnya itu. Ternyata dia cukup pintar dalam hal perasaan. Tidak seperti dirinya.

"Udah mau masuk."

Willy mendongak, matanya mengekor mengikuti Shafa yang telah lebih dulu berdiri. Willy lalu tersenyum simpul. "Bangunin dong," ucapnya manja. Tampak sangat tidak sinkron dengan postur tubuhnya tersebut.

Shafa menggerenyit dahi menatap Willy di bawah. "Ih?!" pekiknya dengan suara meninggi.

"Ayok,"

Mati sudah. Willy benar-benar tidak percaya Shafa mau menjulurkan sebelah tangannya. Padahal di satu sisi, gadis itu sangat tahu dampak buruknya bila seorang berbadan ramping berusaha membangunkan orang yang ketinggian seperti Willy begitu. Willy tak henti tersengir bagai kuda, sesegera mungkin menjabat uluran tangan Shafa sebelum Shafa menariknya kembali. Willy terus tersenyum saat matanya dan Shafa lagi-lagi bertemu, gadis itu tidak menggambarkan satu perasaan pun. Ah, cute. Batin Willy gemas.

'Cup'

"Aa?!" Shafa langsung berteriak begitu tersadar bahwa baru saja ada sebuah benda lembab yang menyentuh kulit tangannya. Shafa ganti memandang Willy, air mukanya yang mewakili debaran jantungnya langsung bisa dibaca oleh Willy.

Willy menyeringai bagai kuda.

"Kenapa lo nyium tangan gue?!" Shafa bersungut kesal disertai efek merah padam di kedua pipinya. Willy terpingkal sesaat melihatnya.

"Itu bukti. Bukti kalo gue bangga punya lo."

"Bangga matamu!" timpal Shafa geram. Wajahnya yang terlanjur memasam dipalingkan ke sembarang arah. Willy tak tahan melihat itu, Willy pun mengambil satu langkah kecil untuk memperdekat dirinya dengan Shafa.

Willy menyentuh wajah Shafa dan mengarahkannya agar kedua pandangan mereka bertemu.

"Selanjutnya, lo yang harus cium gue. Buat tanda kalo lo juga bangga punya gue."

•••

      Bel baru saja berdering. Shafa kali ini pulang lebih cepat, meski tidak lebih cepat dibanding hari biasa. Hanya saja guru bidang studi terakhir hari ini tidak memberi banyak catatan di papan tulis. Jadi Shafa tidak perlu lagi menunda waktu pulangnya untuk mencatat sebanyak yang sering ia lakukan.

Shafa berlari di tengah sesak dan gaduh lautan siswa di sekolahnya. Rambutnya yang sudah tak diikat lagi berkibas-kibas di tengah lajunya. Dan itu menjadi tontonan banyak cowok gatel disana. Ah, masa bodoh, Shafa hanya akan berhenti berlari setelah menemukan batang hidung Willy. Kekasihnya itu yang meminta Shafa agar menunggunya, lalu mereka pulang bersama dan sebelum itu... Mereka akan pergi sebentar. Tidak tahu akan kemana.

"Selanjutnya, lo yang harus cium gue. Buat tanda kalo lo juga bangga punya gue."

"Gimana bisa gue ngelakuin itu, gimana bisa. Bangga apanya!" gumam Shafa di sepanjang kakinya melangkah.

"Stop, stop!" pekik seseorang secara tiba-tiba. Sontak saat itu juga Shafa menghentikan langkahnya. Shafa menyipit sekaligus mendongak. "Wi-ups. Made!" Shafa saking geramnya jadi kesulitan untuk mengenali orang tersebut. Lagipula Made memang lumayan mirip dengan Willy.

Made tersenyum kikuk. "Apa gue nakutin lo?" tanyanya basa-basi.

Shafa mengangguk. "Siapa yang nggak takut kalo tiba-tiba ada orang di depannya dan nyuruh berhenti," jawabnya malas sembari melipat tangan di depan perut.

Made tersenyum menahan gelak. "Oh? Lo separno itu?" ucapnya dengan wajah yang amat minta ditinju. "Sorry," akhirnya dengan sebuah senyum sopan.

Shafa hanya mengangguk dengan bibir mengerucut. "Now what?" tanyanya masih dengan mimik merajuk. Made terus berdiam tanpa memperlihatkan padanya bahwa ada sesuatu yang penting. Shafa tak bisa begini. Ada seseorang yang harus ditunggu disana.

"Buang-buang waktu," tandas Shafa sebelum akhirnya memilih untuk mengambil celah di samping badan Made.

•••

"Willy! Oh my god, finally!" ujar Shafa begitu berhasil menemukan tubuh tinggi besar Willy di antara deretan motor yang terparkir di dekat pos satpam. Shafa lantas mendekat dan menggebuk sebelah lengan pemuda itu untuk menunjukkan kehadirannya.

Willy sedikit melintir badannya untuk tersenyum pada Shafa. "Tolong pegangin kotak donatnya dong. Abis ini kita cari bahan kue, gue udah izin kok lo pulang ke rumah gue dulu, kita buat disana aja," ucap Willy tanpa henti. Shafa hanya mendongak dan menjadi seorang pendengar yang baik.

"Kayaknya yang enak lo tunggu guenya di luar aja deh, kalo disini kan lo kena-kena orang gitu kan gak enak juga gue ngeliat-"

"Bawel!" sela Shafa sambil mengambil kedua kotak donat kosong dari tangan Willy, Shafa berlalu sejurus kemudian.

Willy hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Oh yeah, Shafa! I love you!" ujarnya dengan penuh senyuman.

Shafa tak bisa menahan tawanya ketika mendengar itu. "I know right!" balas Shafa disertai wajah lucunya saat sedang tertawa.

"But gue minta maaf, Willy. Gue gak tau kapan gue bisa menuhin permintaan lo," lanjutnya dalam hati.

•••

Maaf.......... Baru update. Oh, yeah, baca ceritaku yang lain ya, seperti "Something Like You" (full english), Mr. Rius (Horror, psychopath), dan yang terbaru, bergenre dramatic, humor dan agak menyimpang... "ZAHRA". Thanks before!^^

The WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang