Shafa mengamati setiap kejadian yang terlintas sekelebat di matanya lewat jendela mobil Algy. Sejak tadi, keduanya sama-sama membungkam mulut. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan satu sama lain. Mungkin bukan tidak berani, hanya saling berlomba untuk mendapat anggapan bahwa masing-masing dari mereka mampu bertahan sendirian dalam kondisi seperti ini. Kondisi ... seperti apa?
Tidak ada yang tahu, bahkan Algy sekalipun. Shafa menjatuhkan setitik air mata di sudut. Hatinya pilu, dia tidak mengerti dengan jalan cerita cintanya dengan Algy, sudah berakhir kah? atau belum?
Ya.. cukup membingungkan. Dibilang belum, jelas-jelas sudah, Algy yang memintanya agar berakhir saja, dan Shafa sudah memutuskan untuk (berusaha) mengikhlaskan. Ya. Harus diikhlaskan. Shafa ingin orang yang dicintainya selalu bahagia. Meski kepergiannya lah alasan orang itu bahagia.
......Karena sebagian kebahagiaan Shafa adalah bahagia Algy.....
Namun.. itulah, semuanya berjalan seolah mereka masih bersama hingga saat ini. Seperti yang pernah Shafa yakini, Algy tidak benar-benar meninggalkan dirinya. Ah, tapi, jelas-jelas Algy bilang dia tidak mengenal Shafa, dia bahkan menyingkirkan Shafa. Shafa terus bermain dengan logikanya. Dia ingin berhenti untuk menunggu Algy, dia harus segera mencari kebahagiaan baru, atau dia bukan hanya kan kehilangan Algy saja, dia akan kehilangan orang yang selama ini berusaha mengganti posisi Algy. T-tapi.. kembali lagi, Shafa yakin Algy tidak benar-benar meninggalkannya. Shafa yakin Algy kan menyesali semuanya, lalu kembali pada Shafa. Seperti di cerita yang pernah Shafa tulis.
Atau ini hanya perasaan Shafa saja yang terlalu menginginkan Algy kembali?
"Rumah lo dimana deh? Masih yang dulu kan?" tanya Algy sarkastik. Algy melirik ke cermin kecil yang menggantung di atas jok kemudi. Shafa terlihat fokus pada pemandangan sekejap di luar.
"Shaf? Hello..?" lirih Algy. Masih melihat ke arah cermin kecil itu. Shafa terkesiap, Algy melihat bayangan itu disana. Algy menarik seulas senyum sadar atau tidak sadar.
"Rumah lo dimana?" Algy mengulang pertanyaannya yang belum sempat dijawab oleh Shafa.
Shafa mencoba mencari mimik wajah terbagus untuk kondisi seperti ini, ia pun mencoba mencarinya di sebuah cermin kecil tepat beberapa centi dari kepala Algy. Shafa berjanji, saat menemukan mimik yang cocok ia akan menjawab.
Di detik yang sama, Algy tengah melirik cermin tersebut. Pandangan mereka bertemu lewat perantara media. Membuahkan dentuman keras pada dada Shafa. Gadis ini menutupi kegugupannya dengan berpura-pura ingin merapikan poni.
Shafa terhenti. Ah, tidak, ia lupa ia tidak memakai poni.
Algyansyah Pratama, anak pertama dari Elma dan Fadhli ini diam-diam tertawa kecil menyaksikan tingkah speechless Shafa dari cermin kecil. Dia hampir lupa tujuannya mengantar Shafa, hanya untuk merealisasikan perintah sang ibu.
"Rumah lo-"
"Ikutin jalan aja, kalo gue bilang belok ya belok" sela Shafa sebelum Algy mengulang pertanyaannya untuk yang ketiga kali. Algy mengangguk. "Ok, iya. Maaf!"
Shafa menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan hentakan. Matanya kembali lagi mengamati kejadian-kejadian sekelebat di luar jendela mobil.
"Cinta lo ke gue masih sepanjang jalan nggak?"
Ha?
![](https://img.wattpad.com/cover/67687144-288-k710067.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.