"Shafa, enough please.. You need to let it go."
Shafa akhirnya menjauh dan menyeka kesan-kesan percikan air di sekitar matanya. Shafa memperbaiki penampilannya sebentar. Sejurus kemudian matanya mencoba menatap mata Willy tajam-tajam.
"Willy, dengerin gue. Gue nggak mau liat lo jualan lagi demi gue. Lo juga harus mikirin diri lo sendiri.." ucap Shafa melirih. Matanya berusaha mendapatkan sebuah anggukan kepala dari Willy. Tapi justru nol yang didapatkannya. Hanya sebuah tatapan intens yang tak berarti dari Willy.
Willy kini malah tersenyum. Lalu memperlihatkan tangan kanannya yang terdapat luka lebam. "Lo liat luka ini?" tanyanya seperti orang bodoh. Shafa hanya mengangguk menerima pertanyaan yang seharusnya sudah ia ketahui jawabannya. "Sekarang udah nggak sakit. Itu karena lo," sambung Willy.
Shafa tersedak. Spontan Willy yang berada paling dekat dengan dirinya membantu untuk menepuk punggungnya. Shafa berdeham keras berkali-kali. "L-lo gakpapa?" tanya Willy keburu panik. Shafa memperlihatkan kelima jarinya sambil terus menepuk dadanya pelan-pelan.
"Karena udah dibersihin," timpalnya masih terbatuk-batuk.
Willy merungut mendengar itu. "Tuh kan ngerendahin diri lagi!" ujarnya sangat gemas. Shafa hanya tersenyum kecut. "Meh," cibir Shafa sambil membuang nafas dengan bola mata diputar malas. "Pembicaraan gak berfaedah," gumam Shafa sambil mendekatkan perban steril dan semangkuk kecil tanaman herbal yang telah ditumbuk ke sisinya.
"Diem! Gue gigit kalo banyak tingkah," katanya sambil melipat perban yang sebelumnya telah ia letakkan obat herbal. Willy melengos. "Macan mah susah ya.." desisnya. Tapi Shafa mampu mendengar itu dengan jelas.
Shafa melirik tajam sesaat. "Bodo," timpal Shafa, lalu kembali lagi pada lukanya. Shafa lantas mengambil tangan Willy dan mulai merekatkan perban di atas lukanya, secepatnya Willy menepis. "Nggak perlu! Biar apa adanya aja," tegas Willy sambil meniup-niup lukanya yang terasa berdenyut ketika terkena tetesan air dari tumbukan obat herbal. Wajahnya ditekuk parah.
Shafa berdecak sebal demi menahan gemas. "Si bodoh.." gumam Shafa sambil terus memaksakan agar obat di perban itu bisa merekat tepat di lukanya. Willy mengaduh sambil terus berusaha melepaskan cekatan tangan Shafa. "Shh.. Awh! Lo tuh gak denger apa orang ngomong? Itu nggak perlu! Gue udah sembuh! Gue udah bilang gue udah sembuh karena lo! Dengerin kalo orang ngomong!"
"Ih!" Shafa menggeram sekaligus melototi Willy. Shafa melengos lagi setelahnya, tawanya memaksa keluar begitu melihat tampang Willy. "Udah selesai kali," sambung Shafa. Willy langsung tersentak untuk melirik lukanya yang sudah terlilit perban. "Oh. Yaudah makasih," ucapnya malas.
"Lo kayak orang bodoh aja sih, niat ke rumah orang malah luka. Kalo ke rumah gue sih gak apa, belum tentu orang lain mau ngobatin lo kan?" rutuk Shafa sambil terus membersihkan tetesan obat dari perban Willy di lantai.
Willy hanya membuang nafas lengah dengan gaya sok keren. "Yah.. Gimana ya, Shaf.. Namanya juga orang!"
"Sering ngebuat kesalahan, terus jatuh karena kesalahan itu sendiri. Dan dapet luka karenanya."
"Bahkan kadang, luka itu nggak datang satu atau dua."
"Jatuh kayak gini mah udah makanan sehari-hari, lo belajar jalan jatuh dulu, belajar naik sepeda jatuh dulu, belajar naik motor jatuh dulu. Sama kayak lo kalo lagi pengen sesuatu, lo harus jatuh sampe beberapa kali dulu buat ngedapetinnya."
"..Atau kayak jatuh cinta sama orang singkatnya, namanya aja jatuh cinta. Entah itu jatuh karena minder, atau jatuh karena kenyataannya dia nggak ngerespon, jatuh itu manusiawi kok. Kan, kan?" Willy terus mengoceh sembari menaik turunkan kedua alisnya. Tapi Shafa hanya memandangnya, tatapannya terbilang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Worst
RomanceTentang bagaimana seorang "Barbie hidup" yang berusaha disingkirkan oleh kehidupan, lewat persahabatannya, keluarganya, cinta, juga hobby-nya.