"Sumpah! Gue kangen tempat ini!"
Dita berlarian di puncak rute hiking atau yang biasa mereka sebut bukit.
Sore ini bukit sepi, hanya ada mobil mereka di parkiran.
Daffa tersenyum melihat Dita yang berlari menuju bangku yang menghadap terbenamnya matahari.
Perlahan ia menyusul Dita dan duduk di sebelahnya, mengamati wajah Dita dari samping. Masih tetap cantik, akan selalu cantik di matanya.
"Sumpah ya, dari semua tempat yang paling gue kangenin tuh tempat ini." Dita menatap Daffa dengan senyum bahagia.
"Kesini nggak sama lo juga berasa beda, Liv."
Dita menoleh pada Daffa lantas memukul lengan cowok itu. "Bilang sama gue, udah berapa cewek yang lo ajak kesini? Hmm?" Dita menaik turunkan alisnya.
Daffa terkekeh. "Lo doang."
"Bohong!"
Emang.
"Sama ada satu cewek lagi sih."
Ia teringat Diba. Ia belum sempat menghubunginya.
Mata Dita membulat. "Uuuu! ceritain coba cewek sial mana yang mau lo ajak kesini?"
Daffa mengulum senyum lantas menggeleng. "Ntar aja."
"Ish." Dita melesatkan tatapan sinis.
Daffa tertawa. "Gimana sama lo?"
"Gue?" Dita menunjuk dirinya sendiri, lalu mengangguk cepat, "Mereka yang di sana baik-baik, sejauh ini oke aja."
"Ada yang beda dari disini sama di sana?" tanya Daffa lagi.
"Beda lah. Nggak ada lo nggak ada anak-anak, awalnya sih bingung adaptasi, tapi lama-lama gue malah punya clique sendiri," ujar Dita dengan kekehan.
"Raka?"
Dita terdiam tak menoleh sama sekali.
"Raka masih ngehubungi lo?" Daffa melontarkan pertanyaan yang selama ini menggantung di kepalanya.
Perlahan Dita menggeleng. "Cuma beberapa bulan setelah gue pindah, abis itu dia ngilang lagi."
Daffa mengangguk paham, hatinya berdebar, ada satu pertanyaan lagi yang sejak kepindahan cewek di sampingnya ini sangat ingin ia tanyakan. Pertanyaan yang sampai sekarang belum ia temukan jawabannya dan itu menyiksanya.
"Kenapa?" tanya Daffa dengan suara lirih.
"Apa?" Dita menoleh pada Daffa dengan kernyitan di dahi.
"Kenapa cuma gue yang nggak tau kalo lo pindah?" Daffa menatap tepat di manik mata Dita.
"Kenapa Liv? Apa karena hal yang gue bilang sebelumnya? Iya?"
Kali ini Daffa sudah tak memikirkan lagi perasaan Dita, yang ia pikirkan hanya ia harus menemukan jawaban dari pertanyaannya.
"Jawab gue Liv," ujar Daffa lirih menatap Dita yang hanya diam.
"Sorry," jawab Dita enggan menatap Daffa.
Daffa terkekeh pelan. Miris. Bertahun-tahun ia menunggu jawaban tapi Dita cuma mengatakan satu kata. "Cuma sorry?"
"Bian, maafin gue, maaf." Dita meraih tangan Daffa dan menggenggamnya.
"Lo nggak tau Liv, betapa linglungnya gue setelah lo pindah. Gue hampir gila pas semua orang bilang lo udah pindah bahkan mereka nganter lo ke bandara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Again
Roman pour AdolescentsSekali lagi aku mencoba untuk percaya dan sekali lagi aku harus kecewa. Once Again Elok Puspa | 2016-2017 Credit photo from Pinterest