Sial. Sial. Sial.
Diba berlari menuju gerbang sekolahnya dengan kecepatan penuh. Mengabaikan rambutnya yang tergerai bebas.
Sial.
Di depan gerbang SMA PERSADA NUSANTARA berkerumun siswa siswi yang terlambat. Beberapa mobil dan motor terparkir di samping trotar. Diba mendesah kecewa. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. 7.30.
15 menit lagi sampai bel jam pertama berbunyi.
Diba menghempaskan diri di trotoar mengusap keringat di dahinya dengan tisu, tangannya yang lain mengambil botol air minumnya.
Ia menatap satu persatu siswa siswi yang bergerombol di depan gerbang, siapa tau ada yang ia kenal, namun sejauh ini kebanyakan hanya siswa kelas 12 yang malah asyik cekikikan dan beberapa ada yang selfie ada juga beberapa adik kelas -terlihat dari seragamnya yang kebesaran- yang hanya memandangi kakak-kakak kelasnya dan mungkin satu atau dua orang anak 11 IPS yang tak ia kenal.
Tak lama terdengar bunyi kunci gerbang yang dibuka. Ia berdiri dan memakai tasnya.
"Cepat jalan jongkok dan berbaris yang rapi," teriak Bu Lis yang hari itu piket.
Diba langsung masuk barisan dan jalan jongkok. Sesampainya di lapangan tengah ia berdiri dan meletakkan tasnya di dekat gawang.
"Kalian ini terlalu sekali. Lupa masih sekolah? Atau udah tidak ingin sekolah lagi? Iya?" Bu Lis menatap satu persatu siswa yang sudah berbaris rapi di hadapannya.
"Saya sampai bingung kasih hukuman apa. Setiap hari ada saja yang terlambat. Sekarang baris di depan tiang bendera dan beri hormat sampai jam pelajaran kedua," tandas Bu Lis.
Yah itu sih setengah jam sendiri. Sialan.
Baru 10 menit berdiri, cewek kelas 12 yang baris di depannya sudah lemas dan dibawa ke UKS. Memang posisi Diba berbaris ini tepat dimana matahari bersinar sangat terik bahkan Diba sudah merasakan keringat mengalir di punggungnya.
Ia sedikit menunduk untuk menghalangi sinar matahari langsung pada wajahnya saat kemudian ia menyadari di depannya kini berdiri seorang cowok yang tingginya dapat menghalangi sinar matahari langsung mengenainya.
Diba bersyukur dalam hati. Alhamdulilah nih orang tinggi, lumayan lah jadi nggak panas banget.
Bel berbunyi 15 menit kemudian diiringi desahan lega dari beberapa orang yang langsung beranjak ke kantin setelah mengambil tas.
Diba mengusap peluhnya dan buru-buru menguncir rambutnya. Ia sampai lupa menguncir rambutnya karena harus berlari dari perempatan yang macet parah -hari ini dia diantar karena kesiangan dan sang Mami tak mau jika Diba ngebut di jalanan- ke gerbang SMA Persada Nusantara.
"Nggak usah dikuncir Diba, lo cantik kalau digerai," ucap seseorang yang langsung membuat Diba mendongak.
"Lah? Lo sejak kapan disini?"
"Sejak negara api menyerang," jawab Daffa santai.
"IEmang lo nggak ada kelas apa? Cabut lo ya?"
"Gue telat juga Diba."
"Masa sih?" tanya Diba tak percaya.
Jadi tadi yang di depan gue si kutu ini?
"Bodo Dib. Kelas yuk buru," Daffa menarik tangan Diba setelah memberikan tas cewek itu yang langsung ditepis Diba dan melesatkan tatapan sinis yang malah membuat Daffa tergelak.
×
Sudah setengah jam sejak bel pulang namun Diba tetap duduk di bangkunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Again
Teen FictionSekali lagi aku mencoba untuk percaya dan sekali lagi aku harus kecewa. Once Again Elok Puspa | 2016-2017 Credit photo from Pinterest