Sabtu.
Diba sedang berada di aula untuk latihan padus seperti biasa. Satu tangannya menyambar botol minum setelah selesai menyanyikan lagu Indonesia Pusaka.
"Dib, ngebagi buat piket tiap seninnya gimana? Bu Kania udah bilang buat kelas dua belas nggak usah ikut nyanyi buat hari senin."
Diba menoleh menatap Regina. "Kelas dua belasnya nggak usah diikutin, kelas sebelasnya ada berapa terus dibagi empat aja buat sebulan kelas sepuluh juga."
"Tapi Dib, yang kelas sepuluh tuh masih awam banget, gue ngeri dikomplain pas upacara."
"Masa mau kita mulu Gin? Harus belajar lah mereka."
"Abis ini Indonesia Raya aja dulu ya Dib, ngebiasain buat upacara."
Diba mengangguk mendengar usul Regina. "Iya, minum dulu Gin."
Ragina meraih botol minumnya sendiri.
Ponsel Diba bergetar menandakan telepon masuk. Ia mengernyit melihat nama Daffa tertera di layar Ponselnya.
Kenapa?
"Halo."
"Hai, Dib."
"Hai, Daf, kenapa?"
"Semangat ya Diba sayang, minumnya masih ada nggak?"
"Daf, lo udah di sekolah?" tanya Diba, karena memang setiap sabtu keduanya jarang berangkat bersama, Daffa biasa latihan basket sore hari sedangkan Diba dari pagi sudah berada di sekolah.
"Udah."
Diba mengangguk.
"Jangan ngangguk doang," ucap Daffa lagi disertai kekehan.
Dahi Diba berkerut bingung. "Kok lo tau sih?"
Bukannya menjawab Daffa malah tertawa.
Lengannya dicolek Regina, ia menoleh dan wakilnya itu menunjuk-nunjuk ke luar koridor.
Diba mengikuti pandangan Regina dan di sanalah Daffa berdiri di balik pintu kaca aula yang tak tertutupi gordin. Masih dengan senyuman, Daffa melambaikan tangan.
Diba baru menyadari, sedari tadi beberapa orang sudah menatap Daffa terang-terangan bahkan dengan pandangan memuja, kebanyakan dari kelas sepuluh.
"Caper ya." Diba masih menempelkan ponselnya di telinga namun matanya sudah tertuju pada Daffa.
"Nggak sengaja kok, tadi pas lewat eh ngeliat lo lagi minum," jawab Daffa masih mempertahankan senyumnya.
"Ya ya ya." Diba menatap Daffa dengan cengiran.
"Jangan senyum gitu, bikin pengen meluk."
"Dih."
"Keluar sini"
"Ngapain? Gue masih latihan tau."
"Sebentar aja."
"Yaudah bentar." Diba berdiri dan menuju pintu setelah mematikan sambungan telepon.
Beberapa orang menatapnya ingin tau. Bisik-bisik gaduh mulai terdengar saat ia mencapai pintu.
Daffa berbalik dan menatap Diba yang baru saja keluar dari pintu.
"Kenapa?" tanya Diba begitu ia sampai di depan Daffa.
Daffa tersenyum tulus, membuatnya semakin tampan. "Pengen lihat lo aja."
"Kan, lebay."
"Capek ya?" tanya Daffa mendekat.
Diba mengangguk. "Lo latihan jam berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Again
Fiksi RemajaSekali lagi aku mencoba untuk percaya dan sekali lagi aku harus kecewa. Once Again Elok Puspa | 2016-2017 Credit photo from Pinterest