Sekarang Diba berada di kantin, sendirian karena Rafa baru saja pergi entah kemana bersama Radit dan Tata pamit ingin mengusili Rafli di samping mushola. Ia menatap siomay di hadapannya dengan pandangan tak berminat, karena kenyang.
Kantin 10 siang ini cukup ramai. Obrolan serta candaan ringan khas anak sekolah memenuhi kantin. Sedangkan ia duduk sendiri di meja paling ujung dekat konter penjual minuman.
Ingin kembali ke kelas juga malas, seharian ini guru-guru sedang sibuk entah apa yang membuat banyak pelajaran kosong dan hanya diminta mengerjakan tugas.
Diba mengembuskan napas kembali, matanya menyapu ke sekeliling kantin. Pandangannya berhenti pada Daffa yang baru saja memasuki kantin 10 bersama beberapa temannya dengan diiringi tawa, kemudian gerombolan yang menarik perhatian adik-adik kelas itu berhenti di salah satu meja kosong dan langsung memenuhi meja itu.
Ia melirik ponselnya yang berada di atas meja. Tak ada notifikasi apapun dari Daffa. Beberapa hari ini sikap Daffa padanya berubah, seperti menjauhinya, padahal sepengetahuannya -dari curi dengar obrolan Rafa- urusan ekskul basket sudah selesai.
Diba nggak tau penyebab perubahan sikap Daffa, jika sebelumnya ia maklum karena Daffa sibuk dengan basket, namun makin kesini dan sikap Daffa tak kunjung berubah, ia pun mulai berpikir.
Apa sikapnya ada yang membuat Daffa marah? Atau ucapannya ada yang menyinggung cowok itu?
Tapi, ia enggan bertanya. Gengsi. Selama ini ia selalu tak ingin terlalu peduli pada Daffa, karena rasa peduli itu bisa membawanya pada tahapan perasaan yang lebih dari itu dan jujur saja ia belum siap menyerahkan hatinya, terlebih pada cowok sejenis Daffa.
Ingin rasanya ia tak peduli, tapi rupanya ia mulai peduli pada cowok itu dan ia mulai mempercayainya. Tiba-tiba satu kesadaran menghampirinya.
Dia Daffa, cowok playboy yang dulu lo sebelin, apa yang lo harapin?
Benar. Dia Daffa. Playboy dengan wajah tampan dan sikap santun serta menyenangkan, membuat Daffa dapat meluluhkan cewek manapun dan menjadikannya sebagai pacar.
Apa yang ia harapkan?
Ini semua akan segera berakhir. Walaupun semua orang mengatakan Daffa sudah tobat dan benar-benar mencintainya, walaupun seringkali Daffa membuktikan ucapannya dan walaupun ia sudah mulai peduli bahkan percaya pada cowok itu, ia tetap Daffa.
Diba tertawa kecil sembari menunduk, menutupi cengiran miris di wajahnya dengan rambut panjangnya yang ia gerai. Sejak awal ia sudah tau, hubungannya dengan Daffa tak akan lama, Daffa, walaupun ia sangat bersikap baik padanya namun ia masih ragu.
Bahkan kepeduliannya dan rasa percaya pada cowok itu mulai ia sesali. Tak seharusnya ia peduli bahkan percaya pada Daffa yang kapan saja bisa menyakitinya.
Tinggal tunggu waktu.
Ya, tinggal menunggu waktu, tunggu sampai Daffa mengakhiri hubungan ini.
Mungkin jika hubungan mereka berakhir dengan baik-baik, ia akan mempertimbangkan untuk berteman dengan Daffa, karena cowok itu tak begitu buruk untuk dijadikan teman dan dengan begitu ia masih bisa bertemu Vian serta Vina.
Jika pun hubungan ini akan berakhir, semoga Daffa mengakhirinya dengan baik dan tidak membuatnya memasukan nama cowok itu pada daftar orang yang ia benci karena daftar itu baru saja ia bersihkan dengan memaafkan Kevin dan Via, ia tak ingin ada lagi yang mengisi daftar itu.
Perasaan benci itu melelahkan.
Diba menatap Daffa yang duduk memunggunginya, sepertinya cowok itu tak menyadari keberadaannya atau mungkin pura-pura tak menyadari, entah ia tak tau, lagi pula segerombol orang yang duduk di meja depannya lumayan tinggi sehingga ia bisa saja tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Again
Teen FictionSekali lagi aku mencoba untuk percaya dan sekali lagi aku harus kecewa. Once Again Elok Puspa | 2016-2017 Credit photo from Pinterest