Hujan mengguyur Surabaya sesaat setelah mobil yang ditumpangi Bram meninggalkan pelataran parkir SMU Masehi. Bram membolak-balik kertas di hadapannya dengan tidak minat.
Nama: Adi Prayoga
Umur: 46 tahun
Nama: Martha Tio
Umur: 43 tahun
Nama: Yohan Prayogo
Umur: 17 tahun (meninggal)
Cih! Bram mendesis kecil saat melihat data itu. Kenapa juga memasukkan data orang yang sudah meninggal di dalamnya. Pemuda ini langsung melempar mapnya ke sampingnya dan mendesah panjang.
"Sudah menulis di twitter tentang kepergianmu sementara?" suara Pak Yoso mengalahkan bunyi hujan dan denggung AC. Bapak yang sudah mengabdi pada kakeknya selama lebih dari 30 tahun itu menoleh ke belakang, ke tempat Bram duduk.
Tanpa mengatakan apa-apa, Bram meraih ponselnya dan masuk ke dalam menu twitter. Ia tahu cepat atau lambat harus mengumumkan para penggemarnya kepergiannya sementara. Tentu saja, tak mungkin ia mengatakan ia akan kembali bersekolah. Selama ini, para media dan penggemar telah ditipu dengan image yang sengaja ia bangun. Ralat... sengaja kakeknya bangun. Tak ada yang tahu ia belum menyelesaikan SMUnya. Tidak ada yang tahu ia adalah anak dari Donny Putra, seorang musisi yang tidak pernah ngetop. Seorang musisi yang hanya bekerja dari cafe ke cafe. Kakeknya telah menghilangkan semua jejak kehidupan Bram sewaktu di Surabaya... sewaktu kedua orang tuanya masih hidup.
Bram mengingat-ingat ucapan apa yang akan ia tulis di twitternya. Ucapan yang sudah didektikan oleh kakeknya. Meski sebenarnya ia ingin menuliskan sesuatu yang lain, ia tahu alasan yang dikemukakan kakeknya-lah yang paling bisa menghilangkan jejaknya sementara waktu ini.
Flying to USA. Don't miss me so much, I will back before you know it.
Press release akan diumumkan besok, yang menyatakan ia akan menuntut ilmu di Amerika tapi ia akan terus memantau pekerjaan di Indonesia. Apalagi saat ini ia sedang mencari model untuk music video untuk sebuah lagu dari album barunya yang rencana beredar akhir tahun ini.
Dalam beberapa detik, mention di twitternya bertambah. Tapi pemuda ini sudah menutup aplikasi itu saat sebuah message WhatsApp masuk. Dari Lenne. Bram langsung tak berminat begitu melihat nama itu. Lenne. Seorang artis yang sedang naik daun. Dua sinetron terakhirnya membuatnya jadi buah bibir seluruh ibu-ibu pecinta adegan 'gadis kampung masuk kota, disiksa majikan dan bertemu pemuda kaya tampan dan baik hati'. Beda dengan ibu-ibu yang mengidolakannya, Bram jengah sekali dekat-dekat dengan cewek yang selalu menempel padanya, meski di dalam cuaca yang panas sekalipun.
Jacksaaaay~~~~~ Kamu ke USA? Kenapa?
Cih!
Bram mendengus cukup keras sampai-sampai Pak Yoso menoleh ke arahnya.
Jacksay?!
Menjijikkan! Panggilan apa itu? Bram bergidik sendiri, meski pernah mendengar Lenne memanggilnya dengan panggilan itu.
Bram sudah susah payah mencari nama panggung yang keren. Ia tidak rela nama yang ia pilih dengan sepenuh hati itu menjadi rusak.
Belum sempat Bram membaca keseluruhan pesan itu, gadis itu sudah meneleponnya. Bram mendecak kesal dan langsung mematikan ponselnya. Ia tidak butuh berbicara dengan cewek yang seenaknya mengganti namanya.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Namun tak makan waktu lama. Dering ponsel kembali terdengar. Kali ini milik Pak Yoso.
"Lenne menelepon," Pak Yoso menoleh pada Bram dan memberitahunya saat melihat nama di ponselnya sendiri.
"Biarkan saja," Bram mengernyitkan dahinya, bertanya dalam hati dari mana Lenne bisa tahu nomor ponsel Pak Yoso, dan kenapa ia bisa mengenal Pak Yoso.
Pak Yoso mengikuti ucapan Bram dan menekan tombol 'silent', memaksa ponselnya bungkam. "Lenne benar-benar menyukaimu, kan? Bapak pernah ketemu beberapa kali waktu dia dibawa Wibi ke rumah," Pak Yoso berujar, menyebutkan nama manajernya.
"Dia mau suka kucing atau kaktus sekalipun, aku nggak peduli!" Bram menjawab ketus meski dalam hati ia penasaran kenapa Wibi—manajernya—membawa Lenne ke rumahnya. Ralat, rumah kakeknya. Sejak orang tuanya meninggal dan pindah ke Jakarta, ia tinggal bersama kakeknya.
Juga bekerja di bawah naungan kakeknya, Bram, tersenyum miris dalam hati. Kenyataan ini baru ia ketahui sebulan yang lalu. Kenyataan pahit yang menghancurkan kebanggaan yang ia elu-elukan.
Selama ini, ia pikir ia berhasil menjadi penyanyi melalui usahanya sendiri. Saat Wibi menawarinya sebuah kontrak sebagai penyanyi lima tahun lalu, ia pikir inilah waktunya membuktikan pada kakeknya bahwa ia bisa hidup sendiri. Tapi persyaratan Wibi dan Dope Records mengharuskannya tinggal di Jakarta dan dengan umurnya yang masih 17 tahun, Wibi memintanya tinggal dengan 'saudaranya'. Satu-satunya saudara yang ia miliki adalah kakeknya. Kakek yang tidak pernah menjenguknya sama sekali karena menganggap pernikahan Monic, anak semata wayangnya dan seorang pemuda penyanyi café adalah sebuah kesalahan.
Tapi begitu mendapat kabar Monic meninggal, kakek begitu gencar pergi ke Surabaya dan mengajak Bram, satu-satunya yang selamat dari kecelakaan naas itu untuk tinggal di Jakarta bersamanya. Permintaan itu Bram tolak mentah-mentah. Mana sudi ia tinggal bersama seorang pria tua yang sesekali menelepon orang tuanya untuk mengucapkan hal-hal yang tak enak didengar serta membuat ibunya menangis.
Tapi penawaran Wibi mengubah pendiriannya. Setelah beberapa bulan hidup seorang diri di sebuah rumah yang bahkan belum lunas, akhirnya Bram menyerah. Apalagi uang yang ia dapat dari mengikuti sebuah EO sebagai penyanyi di acara pernikahan sama sekali tidak cukup untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari, apalagi untuk uang sekolah dan beberapa tagihan lainnya.
Ia menjilat ludahnya sendiri dengan mengiyakan ajakan kakek. Tapi ada satu hal yang bisa membuatnya tetap menegakkan kepala tanpa malu. Ia berhasil menjadi penyanyi karena kemampuannya. Sayangnya, ia baru tahu kalau ternyata Dope Records adalah milik kakeknya. Kakeknyalah yang berada di balik kesuksesannya. Sungguh sesuatu yang memalukan.
"Setidaknya kau harus memberitahunya kalau kau diminta kakekmu untuk menyelesaikan sekolahmu, kan?" suara Pak Yoso kembali terdengar, menghilangkan bayangan kesuksesan di mata Bram.
"Hubungan kami tak sedekat itu," ucap Bram. "Aku juga tak sudi dekat-dekat dengannya. Bau parfumnya menyengat sekali!"
Pak Yoso terseyum kecil. "Kalau tak suka, kenapa menyetujui dia menjadi model di music videomu berikutnya?"
Bram tersenyum mengejek. "Memangnya aku bisa melawan manajemen? Memangnya aku bisa protes kalau mencari manajemen mencari model melalui sebuah kompetisi padahal sudah ada satu orang yang pasti jadi pemenang? Memangnya Opa bisa dilawan?"
"Menurut Bapak, mereka akan mempertimbangkan pendapat penyanyi dengan talenta sepertimu."
Bram mendengus. "Mana mungkin? Aku ini bukan artis mereka, tapi tahanan. Kalau dulu aku tahu, aku tidak akan pernah mau bergabung."
"Kakekmu itu menyanyangimu, Bram," Pak Yoso kembali menasehati.
"Kalau kakek menyayangiku... dulu dia tidak akan mengambilku dari rumahku! Tidak akan memindahkanku ke Jakarta," Bram mengeraskan rahangnya.
"Orang tuamu sudah meninggal karena kecelakaan. Kau sebatang kara, tentu saja kakek harus mengasuhmu. Kau pun setuju diasuh kakek, kan?"
Bram mendengus lagi. "Setelah dia setuju aku menjadi penyanyi... dan ternyata orang yang menawariku untuk mengorbitkanku menjadi penyanyi adalah bawahannya. Sudah berapa lama aku menjadi budak kakek? Jangan-jangan sebelum orang tuaku meninggal pun kakek sudah merencanakan ini semua?"
"Kakekmu menyayangimu, Bram." Pak Yoso tahu tak gunanya berdebat dengan orang yang sedang sakit hati seperti itu. "Itu saja yang perlu kau ingat."
*
Maaaaf, baru revisi 1 nama di bagian atas yang lupa diganti.
Randy berubah jadi Yohan, ya. Di awal naskah menggunakan nama Randy. Tapi terus jadi Yohan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...